Minggu, 04 September 2016

Berbaktilah pada Orangtuamu sebelum Terlambat

MUNGKIN kita sudah sering mendengar, “Sesuatu baru akan terasa berharga, ketika kita sudah kehilangannya.”

Tak perlu jauh-jauh, misalnya listrik atau air. Dalam kondisi normal, bisa saja kita menghambur-hamburkannya. Membuang-buang pemakaiannya seenaknya. Tapi coba, kalau sudah mati listrik? Air di bak belum penuh, tidak ada toren. Setengah jam saja kita tanpa listrik, rasanya mati kutu. Ditambah lagi HP lowbat, wah rasanya penderitaan lengkaplah sudah. Itu baru perkara listrik dan air, bagaimana dengan orangtua?

***

Belum lama ini agak tersentak mendengar kisah yang menurut saya cukup dramatis. Tak sampai seminggu jelang pernikahan seorang teman, ayahandanya dipanggil ke pangkuan Allah. Ya, dipanggil untuk selama-lamanya.

Innalillahi wa inna ilayhi roji’uun.

Pun beberapa tahun lalu, seorang teman kuliah harus melepas kepergian ibundanya. Ketika saya mengucapkan ungkapan belasungkawa, teman saya itu mengingatkan, “Sayangi Nyokap lo, Tia. Jangan sampe nyesel kalo udah nggak ada.”

Juga seorang rekan kerja yang berkali-kali mengungkapkan rasa sesal, atas sikapnya selama ini terhadap almarhumah ibunya. Mendadak teringat semua kesalahan, kenakalan, terutama ketika ia masih berusia remaja.

Ya. Penyesalan memang begitu. Hadirnya selalu belakangan. Setelah segala sesuatunya sudah terlambat, barulah perasaan menyesal ditambah rasa bersalah memenuhi rongga dada. Menyesakkan, namun takkan merubah apapun yang telah terjadi.

Bagaimanapun kondisi orangtua kita, keduanya tetap orangtua. Bahkan sekalipun bapak-ibu kita berbeda keyakinan dengan kita, Allah tetap menyuruh kita untuk menghormati dan menta’ati keduanya—selama tidak dalam kemaksiatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar