Selasa, 13 September 2016

Sesempurna Selfie-kah Hidup Kita?

DI zaman sekarang, rasanya kehidupan manusia sudah tidak bisa terpisahkan dari sosial media. Hampir setiap hari applikasi yang berhubungan dengan sosmed menjadi santapan. Tujuannya pun beragam, ada yang untuk update status, upload foto, chatting dan sebagainya.

Ketika menggunakan sosmed, pasti banyak kita temui foto-foto yang berserakan di beranda/timeline kita. Dan foto tersebut biasanya menggambarkan kegiatan yang sedang dilakukan, moment indah yang dilewati, beserta pemandangan indah dari sebuah tempat yang dikunjungi, dan tak luput juga foto selfie dengan berbagai macam pose.

Hingga kita yang melihatnya pun menjadi terkesan, kagum, bahkan mungkin iri karena ingin juga bisa melakukan hal yang sama.

Saya pribadi pernah ikut arus kekinian, yah karena merasa perlu dan tidak mau menjadi ketinggalan zaman. (Dulu) saya rajin sekali menggunggah foto yang menggambarkan kebahagiaan. Mungkin memang semua itu tidak salah karena masih dalam tahap yang wajar.

Tapi lama kelamaan saya merasa seperti “terbebani”. Rasanya tidak tenang jika hari terlewati tanpa upload foto, entah itu foto ketika bepergian atau foto selfie aneka pose sesuai dengan pose yang lagi nge-trend. Hingga suatu ketika, saya memandangi foto-foto saya sendiri lantas bertanya pada diri sendiri: ‘Apakah memang seindah ini kehidupan saya?’

Atau dengan kata lain, ‘Apakah yang nampak dalam foto sesuai dengan kenyataan sebenarnya?’, ‘Apakah sesempurna itu kehidupan yang saya miliki?’

Berbagai pertanyaan itu seolah bertubi-tubi menampar nurani saya.

Singkat cerita, ketika secercah hidayah mulai menyapa, saya pun akhirnya mulai mengurangi aktifitas yang dulunya sempat menjadi begitu penting di mata saya. Karena jika terus menerus mengikuti arus kekinian, saya bisa tenggelam – kebablasan, tidak tahu lagi mana yang harus diupload dan mana yang tidak perlu.

Dan ada ketakutan dalam diri jika kebiasaan memperlihatkan kehidupan yang nampak “sempurna” itu, bisa-bisa saya jadi terkena penyakit bernama “Ujub”. Na’udzubillah. Semoga Allah menjauhkan saya dari hal tersebut.
Dan bukankah mencegah memang selalu lebih baik daripada mengobati?

Sekarang, hati saya jadi lebih tenang. Saya tetap menggunakan sosial media. Tapi kini tak ada lagi rasa “terbebani” ketika sehari terlewati tanpa upload foto yang seolah memerlihatkan kebahagiaan yang saya sendiri pun tidak tahu apakah kebahagiaan itu benar-benar nyata atau hanya ilusi yang saya ciptakan melalui foto. Saya tidak mau menjudge jika sampai hari ini masih ada beberapa akun sosmed milik teman saya yang isinya full dengan foto tentang dirinya, karena mungkin saja itu adalah kebahagiaan tersendiri untuknya.

Karena setiap orang berhak atas kebahagiaannya masing-masing. Kalau pun nanti suatu saat saya merasa terganggu dengan apa yang saya temukan di sosmed, toh saya bisa dengan mudah memilih pilihan “un-friend”, karena saya pun berhak memilih apa saja yang ingin saya lihat.

Ada beberapa hal yang sebaiknya memang jadi bahan perenungan kita. Terutama tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, kita pun akan terkena imbas dari lingkungan sekitar. Berdasarkan pengalaman saya pribadi, saya ingin agar yang membaca tulisan ini bisa mengambil manfaatnya dan membuang yang buruknya.

Karena sebagai sesama muslim kita memang wajib untuk saling mengingatkan satu sama lain. Karena ilmu saya yang masih sangat terbatas, maka dengan cara berbagi cerita tentang pengalaman pribadi inilah cara saya untuk berusaha menjadi bermanfaat untuk orang lain—yang membaca tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar