Selasa, 13 September 2016

Kapan Memutuskan untuk Bersikap Netral atau Harus Berpihak?

JAWABANNYA satu, ketika kita tahu dan yakin; mana kebenaran yang harus dibela, dan atau mana keburukan yang harus dijauhi bahkan ditentang.

Sebagian dari kita, pasti pernah ada di posisi dilematis. Ketika dua teman baik kita justru saling bermusuhan. Dua-duanya baik. Mereka berdua yang berselisih paham, dan kita ada di tengah-tengah mereka. Lantas, bagaimana sebaiknya kita menyikapinya?

Pertama, pastikan bahwa diri kita jauh dari sifat munafik.

Jangan sampai di depan si A, kita menjelek-jelekkan si C. Dan saat bersama si C, kita ngomong yang enggak-enggak tentang si A.

Kita tahu betul keduanya sedang bermusuhan, sebagai teman yang baik, harusnya kita menengahi. Bukan malah jadi kompor meledug! Atau justru mengambil keuntungan dari kondisi tersebut.

Kedua, tabayyun dulu. Cari tahu kebenarannya. Enggak mungkin ada asap kalau enggak ada api. Boleh jadi di antara kedua pihak, memang salah satunya yang benar, dan satunya lagi salah. Dan ketika Allah menempatkan kita pada posisi di tengah-tengah, ya tugas kita berarti harus menengahi. Jeli mengenali, di mana kebenaran berada. Atau siapa sebenarnya yang salah?

Pada pihak yang salah, kita harus memberitahu kesalahannya apa dengan baik-baik, bukan menghakimi. Tapi ingat resikonya, kita bisa dimusuhin sama teman tersebut—kalau dia tetep enggak terima atau belum menyadari kesalahannya.

Sementara, terhadap posisi yang benar, kita ingatkan untuk memaafkan. Jangan larut dalam benci atau dendam. Kita tahu dia benar, bukan untuk ngomporin atau membuatnya besar kepala. Tetap harus ada niat untuk mendamaikan kedua teman tersebut.

Gimana kalau ternyata keduanya sama-sama benar atau sama-sama salah?
Nah, di sinilah sebaiknya kita bersikap netral saja. Tetap menjalin hubungan baik dengan keduanya.

‘Apa nggak munafik tuh? Kanan kiri oke?’

Ya kagaklah.
Munafik itu, kalau ke sana sini, kita menyulut api permusuhan. Kalau selama bergaul atau ngobrol sama si A, kita tidak menjelek-jelekkan si C, justru menyebut-nyebut kebaikannya, pun sebaliknya, ya di mana letak salahnya?

Ketiga, jangan berpihak atau mendadak baik karena kepentingan pribadi. Jangan membohongi diri sendiri. Tetaplah berpihak pada kebenaran, sekalipun akibatnya akan menyusahkan kita.

Orang munafik itu berbahaya. Bahkan lebih berbahaya dibandingkan orang yang nyata kekafirannya. Makanya nggak usah heran kalau siksaan bagi orang munafik kelak di akhirat, mengerikan sekali.

“Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka,” (QS. An-Nisa’: Ayat 145).

Coba cek ke dalam diri masing-masing. Jangan-jangan sikap munafik itu ada dalam diri kita?

Pake ameliorasi, bersikap netral. Padahal sejatinya kita bermuka dua. Na’udzubillahimindzalik.

Ciri-ciri orang munafik yang saya pelajari dari kecil adalah:

1. Jika berkata dia bohong
2. Jika berjanji dia dusta
3. Jika diberi kepercayaan, dia khianat

Semoga kita dimantapkan hatinya untuk berpihak pada kebenaran. Karena sungguh, menjadi orang hipokrit atau bermuka dua itu adalah perbuatan tercela. Sifat tersebut dekat kepada perbuatan buruk lainnya seperti mengadu domba orang lain yang berarti bisa menghancurkan sebuah hubungan pertemanan bahkan persaudaraan. Wallahu A’lam Bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar