Rabu, 28 September 2016

Minta Sama Siapa?

SIANG cerah di Kuala Lumpur, usai menjemput anak-anak latihan karate di sekolah, saya menemani suami menuju area Gombak untuk ujian qiroat. Beberapa menit jalanan macet, sembari memangku bayi, kubuka `whatsapp dan membaca beberapa berita gembira dari sisters di Krakow. Setahun terakhir ini, kami ‘absen kelas skype’ (seusai masa hectic persalinanku dan pindahan appartemen), namun kami melanjutkan berbagi kabar berita melalui grup Whatsapp, Walhamdulillah!

“Sekarang Aneta dan Kasia telah menemukan kekasih hati, keduanya melangsungkan pernikahan dengan brothers yang merupakan pendatang di Poland,” ucapku, di samping sang supir ganteng yang tengah menanti lampu merah.

“Alhamdulillah… barokalloh buat mereka…” ujar Mas Anggana.

“Trus, ingat kan dengan Brother Feroz? Walhamdulillah pas kita pindah ke Kuwait, beliau pulang ke UK, dan sekarang anaknya dua…masya `Allah, ini istrinya lagi senang menceritakan bayi mereka…” sambungku lagi.

“Wah Alhamdulillah, iya, ingat… dulu mereka agak ketakutan dengan threatment di hospital Krakow, sebab selalu perlu penerjemah di rumah sakit, karena tidak bisa berbahasa lokal….” Mas Angga turut senang mendengar kabar sahabat kita tersebut.

“Errrrm, tapi sist Em, dia hamil lagi dengan ‘yang lama’… innalillahi…” Sist Em adalah istri yang di-mut’ah oleh pendatang pemeluk syi’ah. Sewaktu kami berada di Krakow, beliau bercerita bahwa kontrak pernikahannya adalah enam bulan. Lalu suaminya kembali ke tanah air, sementara sist Em telah berbadan dua. Dan kini anaknya seusia keponakanku, berlanjut memiliki ‘adik baru’, setelah sist Em mau dimut’ah kembali.

“Sejak kita di dekatnya pun, hanya bisa menyampaikan. Hasilnya adalah urusan Allah azza wa jalla. Jadi, minta sama Allah saja, semoga Allah ta’ala menolongnya, melimpahkan hidayah dan taufiqNya untuk bertaubat, aamiin…” tanggapan Mas Angga.

Seingatku, beberapa sisters di Krakow telah saling mengingatkan tentang bahaya kawin kontrak ini, tetapi kaum pendatang pemeluk syi’ah yang bergentayangan di Eropa memang cukup banyak. Apalagi jika di awal pertemanan, taktik ‘taqiyyah’ dijalankan, maka kita memang harus lebih waspada dan tak pernah lelah untuk mempelajari al-Islam keseluruhan, berguru pada ahlul quran dan sunnah rasulNya SAW, sehingga pemahaman tidak mudah tercemar. Di wilayah Islam minoritas seperti Poland, muslimin berteman akrab dengan pemeluk syi’ah adalah hal biasa, dan itu terjadi pada sahabat-sahabat muallaf.

Sist Volha, salah satu sisterku nan cerdas sudah pernah berkata, “Aku bisa donk membedakannya, mana brother muslim, dan mana orang yang syi’ah…” ujarnya, dahulu dengan berkedip. Meskipun ia sangat ramah dan berteman dekat dengan para tokoh agama lain, sister kita ini tegas memegang prinsip. Jika seseorang mendekatinya dan mengatakan “I am muslim…”, maka ia belum langsung percaya. Namun ketika ada yang berkata, “I am muslim, of course sunni!” “Nah itu tandanya Islam, sist, hahahaha…” ujarnya.

“Kita minta sama Allah, petunjuk untuk membedakannya…dan minta petunjuk ketika ada teman baru atau berada di lingkungan baru juga…” sambungnya, yang kini tengah berbahagia karena telah bersama suami, dan menetap di Mesir, beliau menikah dengan brother asal Egypt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar