Minggu, 25 September 2016

Jikalau Hati Sudah Mendengki

BENAR dan salah itu seharusnya jelas. Namun hati terkadang ragu, hendak ke mana mau berpihak. Keraguan yang muncul, biasanya karena kita kesulitan membedakan; mana yang benar dan mana yang salah?

Adalah berbahaya jika sentimen pribadi sudah menodai fungsi hati untuk menentukan keberpihakannya. Ketika satu dua kali, seseorang tak tunduk pada apa yang kita sepakati. Saat tiga empat kali, ia tak melihat dari sudut kita memandang. Lantas beberapa kali situasi membuatnya buruk di mata kita. Penilaian pun selesai; segala hal yang ia sampaikan mesti salah!

Pasti ada titik untuk dipermasalahkan! Mengabaikan nilai-nilai kebenaran atau kebaikan, yang coba dibagikannya pada orang banyak. Ketika yang lain bisa memahami dan mengambil hal positif di balik apa yang ia sampaikan, maka hati kita tetap membantahnya!

“Tidak! Dia salah! Tidak begitu seharusnya! Apa yang kukritiki harus ia ikuti! Jika tidak, ia bersalah! Jika ia menolak saranku, maka ia antikritik! Hanya sibuk pada pujian dan komentar bagus! Ya, dia begitu orangnya!” Lantas bahak tawa ala Rahwana membahana di hati kita.

Ya. Segumpal darah ini tanpa sadar telah diperciki dengki. Membuat apa pun yang dilakukan orang yang kita dengki, selalu salah bahkan berperan sebagai penjahat di mata kita. Camkan; se-la-lu salah! Tak pernah benar.

Otak dan hati sudah bersinergi. Menyimpan nama orang tersebut untuk ditemukan kesalahannya! Ketika kebanyakan orang tidak menyadari, atau tak mempermasalahkan apa yang memang seharusnya tak perlu diangkat ke permukaan, kita … Ya, kita … Menjadi orang yang paling jeliiiiii sekali menemukan kesalahannya, bravo! Tawa Rahwana pun kembali menggetarkan singgasana hati kita.

Kita sibuk mempermainkan logika dan memutarbalikkan kata, hanya untuk memenuhi satu hal yang sudah tersetel otomatis; membantah apa pun yang keluar dari dirinya. Selama ia tak berpikir seperti kita, maka ia perlu dilawan. Titik.

Eh … Apa pula yang dilakukannya tiba-tiba? Kenapa ia melunak? Lho, kenapa ia malah mendekati kita dengan santun? Halahhhhh … Taktik lama! Lihat! Kini ia tengah menjilat! Agar tak lagi ia kita serang dengan komentar-komentar pedas, sadis, yang kita bungkus dengan alibi; kritik dan saran membangun. Padahal sejatinya lebih kentara menjatuhkan.

Seseorang yang namanya sudah kadung kita tandai untuk didengki, membuat hati tak berfungsi lagi dalam membedakan mana yang haq dan bathil. Bahkan kalaupun ia menyampaikan, “Di sana ada jurang!”

Walaupun sebenarnya hati menjerit, “Sepertinya apa yang ia katakan benar.” Namun tersebab dengki sudah terlanjur merajai diri, kita memutuskan untuk terus berjalan ke jalur yang sudah diperingatkannya sebagai jurang. Terus berjalan, hingga benar, nampak jurang curam menganga di hadapan kita. Saat hendak membalikkan badan untuk beranjak, kita malu. Lantas menunggunya untuk pergi lebih dulu, agar ia tak sampai melihat kita berbalik badan, dan sedang menjauh dari tepi jurang. Gengsilah! Masa ia harus terbukti benar sih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar