Sabtu, 17 September 2016

Melatih Anak Menghadapi Susah (3-Habis)

SAYA ada cerita dari teman pondok. Dia punya adik kelas yang sangat pandai. Orang tuanya juga dari kalangan high intellectual. Bapaknya pengusaha sedangkan ibunya seorang dokter. Anak ini sangat cerdas, sedari kecil sudah terbiasa membaca buku diktat ayah dan ibunya. Hingga suatu waktu ketika dimasukkan pondok, baru ketahuan ada sesuatu yang salah. Dalam menangkap materi pelajaran anak ini memang sangat cerdas. Tapi untuk berinteraksi dengan orang lain, dia tidak bisa. Bahkan sekedar melakukan hal-hal basic merawat dirinya sendiri ia tidak bisa.

Seperti mandi dan keramas. Karena dirumah ia sering ditinggal bersama pembantunya. Dan semua hal dilayani pembantunya. Para kakak kakak kelas inilah yang akhirnya memandikan. Termasuk temanku ini yang mengkramasi rambutnya. Pada kenyataannya untuk menghadapi kehidupan ini, ada banyak kemampuan yang harus kita kuasai, tidak sekedar nilai akademik. Sebagai orang tua yang baik kita harus bisa menyiapkan seorang anak yang struggle dan survivemenghadapi segala tantangan hidup.

Saya teringat momen-momen genting saya saat masuk SMA. ketika itu nilai saya sangat tipis untuk bisa masuk SMA favorit di kotaku. Kebetulan saat itu saya punya kerabat yang menjadi guru di SMA itu. Kemudian ibu memanggil saya. Beliau menanyai saya terkait nilai saya yang menipis, “Dini, kamu mau dititipkan ke Allah atau mau dititipkan pak X?” (seseorang yang menjadi kerabat saya)

Kemudian saya bilang, “saya ingin dititipkan sama Allah saja” saat itu nilai saya masuk dalam deretan terbawah. Ibu saya menunggui terus pergeseran nilai saya di sekolah. Tidak hanya ibu tapi kami sekeluarga, bapak ibu dan adik menunggui pergeseran nilai saya yang kritis. Dari pagi sampai sore di sekolah, sampai kami makan di warung dekat SMA tempat saya mendaftar. Peristiwa tersebut sangat membekas pada diri saya.

Kejadian itu mengajari diri saya, Apa itu tawakal. Apa itu tetap konsisten berjalan pada jalur yang benar. Meski begitu saya merasa support orang tua saya. Doa- doa mereka, puasa mereka, kata- kata motivasinya tidak putus-putusnya. Termasuk kesediaan ibu saya menemani saya belajar. Dan juga kesediannya menemani pengumuman nilai dari pagi sampai sore.

Jika sudah menjadi orang tua nanti, semoga Allah membantu kita untuk menetapkan azam. Agar bisa mendidik anak berani menghadapi kenyataan hidup, membiarkan mereka memecahkan masalah sendiri tanpa merasa kita abaikan.

Mari kita bayangkan sejenak, Apa yang terjadi jika orang orang besar seperti Tjokro Aminoto, Soekarno, Moh Hatta mempunyai orang tua yang tidak tegaan, tidak pernah membiarkan anaknya susah, tidak mengizinkan anaknya memilih keputusan yang beresiko, akankah orang orang tersebut akan tetap bisa menjadi seseorang yang memberi pengaruh besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar