Minggu, 18 September 2016

Tak Sebatas Rindu (2)

KEMUDIAN Fatimah datang dan membersihkan kotoran itu dari punggung Nabi saw. Beliau membiarkan apa yang dilakukan orang-orang Quraisy itu dan kemudian bersabda: “Ya Allah, binasakanlah segolongan orang Quraisy, yaitu Abû Jahal bin Hisyam, Uthbah bin Rabî’ah, Syaibah Ibnu Rabî’ah, Umayah Bin Khalaf atau Ubay bin Khalaf.”

Inilah model rindu bermisi kebencian pada kebenaran, rindu bervisi menghancurkan Islam, rindu berisi kekufuran, rindu tanpa didasari keimanan kepada Yang Memiliki Segala Rasa Rindu di seluruh umat manusia, rindu yang berbuah keburukan. Ironisnya, di akhir zaman seperti sekarang model kerinduan seperti ini tidak saja dilakukan oleh orang di luar Islam (seperti aksi brutal umat Budha terhadap umat muslim di Rohingya, Yahudi Israel terhadap muslim Palestina, komunis China di Uighur, dll), tapi justru dipraktikkan oleh oknum segelintir tokoh muslim/ah sendiri.

Ada tokoh muslim yang mengungkapkan rasa rindunya kepada Rasulullah SAW dengan bernyanyi-nyanyi bersama di gereja, ada yang membuktikan rindunya dengan membela mati-matian pemimpin kafir yang sudah dengan jelas-jelas dzolim terhadap mayoritas umat Islam di daerahnya, ada yang betapa sangat rindunya sehingga dia berkata hormatilah orang yang tidak berpuasa, kurangi kebisingan speaker di masjid karena bisa mengganggu umat lainnya, legalkan miras, perjudian, prostitusi, pernikahan sejenis, LGBT, lestarikan budaya syirik dan masih banyak fakta-fakta lainnya.

Di lain sisi, si perindu model ini justru membisu mulutnya, membuta matanya dan mentuli telinganya ketika tahu ada umat Islam yang digusur tempat tinggalnya, rumah ibadahnya dibakar, aktifitas keagamaannya dibatasi dan diintimadasi. Naudzubillahi min dzalik, rindumu memang tak sekedar rindu, rindumu berbuah perkataan dan perbuatan, yang dengan itu kami tahu kerinduan model apa yang kau pilih dan menguatkan amal apa yang sedang kau kumpulkan. Semoga tak lagi kau langgengkan.

Lalu, bagaimana dengan prototype kerinduan yang menguatkan amal kebaikan? Dalam sebuah hadits diceritakan: Suatu ketika berkumpullah Rasulullah Saw bersama para shahabatnya, diantaranya hadir Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Rasul Saw berucap, “Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan saudara-saudaraku.” Begitu mendengar ungkapan ini, suasana majelis mendadak hening, muncul tanda tanya besar dan rasa penasaran yang luar biasa dalam benak segenap yang hadir.

Namun tak satupun berani menyela dan bertanya, kecuali shahabat tercintanya, Abu Bakar ra. Meski bagi Abu Bakar ra sendiri, pengakuan (curhat) ini baru pertama kali beliau dengarkan, namun demi menjawab semua rasa penasaran, beliau lantas memberanikan diri bertanya , “Ya Rasulullah, apakah maksudmu berkata demikian? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?.” Rasulullah Saw menjawab kegusaran shahabat tercintanya itu, “Tidak wahai Abu Bakar, kalian semua adalah shahabat-shahabatku, tetapi bukan saudara-saudaraku.” Shahabat yang lain menyahut dengan rasa semakin penasaran, “Kami ini juga saudaramu Ya Rasulullah.” Rasul Saw menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum dan kemudian bersabda, “Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku dan mereka mencintaiku melebihi anak-anak dan orang tua mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar