Senin, 19 September 2016

Mulailah Cintamu Setelah Menikah

BEBERAPA hari lalu terlibat chatting dengan salah satu teman dari dunia maya. Usai saya bertanya-tanya, dia pun konfirmasi, In Syaa Allah akan menikah dalam waktu dekat.

“Gimana perasaanmu? Sudah mantap?” tanya saya.

Dia jawab, “Bismillah, Wi. Lillah.”

Saya kembali mengetik balasan, “Iya. Bismillah aja. Kalaupun ada keraguan, kemungkinan besar itu datangnya dari setan.”

Seperti yang kita ketahui, menikah itu menyempurnakan separuh agama. Jadi, kalau seseorang sudah menikah, maka dia ‘tinggal’ menyempurnakan separuh agamanya lagi. That’s why, si setan bakal berusaha keras supaya yang separuhnya tadi tidak mudah terpenuhi begitu saja. Dibuatlah berbagai macam perasaan khawatir ketika seseorang berniat untuk menikah. Ya takut miskinlah, takut nggak bisa bebaslah, takut salah milih pasanganlah, dan berbagai kecemasan lainnya.

Hingga tibalah kami pada sebuah statement dari teman saya ini. “Jujur Wi, kalau masalah cinta mah, aku belum ada cinta sama dia.”

Saya segera menyahut, “Ya bagus. Alhamdulillah. Memang sebaiknya begitu.”

Ingatan saya kembali pada perkataan Oki Setiana Dewi, seminggu menjelang pernikahannya 2014 lalu. Dalam sebuah seminar muslimah yang sesekali membahas tentang pernikahan, beliau berbagi pengalaman serta perasaannya menjelang hari bahagia.

“Kalau ada yang bertanya apakah saya mencintai calon suami, saya jawab: cinta belum. Tertarik iya, makanya mau melanjutkan ke pernikahan,” begitu katanya kurang lebih.

Hingga hari ini—dan semoga seterusnya, saya sangat menggarisbawahi statement OSD tersebut. Sepakatnya berlipat-lipat. Ditambah lagi dengan ketegasan Oki dalam menyikapi lelaki yang datang untuk mengenalnya lebih jauh.

“Kalau benar serius, silakan datang ke rumah. Temui ayah saya,” tandas ibu dua anak—saat itu, pada lelaki yang kini menjadi suaminya.

Aduhai perempuan itu memang terkadang lemah sekali. Apalagi kalau sudah urusan perasaan. Maka menyerahkan keputusan kepada wali kita, adalah salah satu cara terbaik untuk menghindarkan diri dari langkah yang salah. Karena kemungkinan besar, laki-laki yang berani menemui bapak dari perempuan yang diinginkannya menjadi ibu bagi anak-anaknya kelak, bukan laki-laki sembarangan. Kalaupun ada pria yang bermain-main usai mendatangi keluarga seorang perempuan, wah pria ini pasti ‘bermasalah’. Minimal bermasalah dalam mengatasi dirinya sendiri.

Hari ini juga ada yang chatting nanyain perihal ta’aruf. Apa hukumnya? Gimana prosesnya? Masih takut nggak dapet jodoh kalo nggak pacaran, dan sebagainya.

Hmmm … ta’aruf hanya bisa dilakukan oleh mereka yang serius dan siap untuk menikah! Catat tuh! Jadi bokis banget kalo ada yang ngajakin ta’aruf, tapi baru siap nikahnya tahun depan atau tiga tahun lagi. Hiyaaaaa, yaudah cari pasangan hidupnya juga nggak usah dicicil dari sekarang kaliii. Entaran aja kalau udah siap nikah.

Duh, kalau yang nggak pacaran aja, kadang masih bisa ngerasa berbunga-bunga, cemburu sampai patah hati, padahal nggak ada status apa-apa. Entah gimana dengan yang masih bersedia pacaran.

Ini udah sering lho kejadian. Bertahun-tahun pacarannya sama siapa. Ehhh yang dinikahin mah siapa.

Nihya, Saudariku …

Sekalipun kamu bisa menjaga fisik dari hal-hal yang mendekati zina, lantas bagaimana kabar hatimu? Apakah dia masih sebersih dulu, sebelum datangnya doi yang mulai membuat hatimu diselipi harap, kemudian namanya mulai tersebut dalam doamu?

Jadi, Saudariku …
Bersabarlah. Jangan malu jika saat ini kau tak mudah jatuh cinta bahkan tak sedang cinta pada lelaki non mahram manapun. Tetaplah pada keputusanmu. Untuk memulai dan menumbuhkan cinta hanya pada dia yang kelak menghalalkanmu dengan sebuah aqad.

“Saya terima nikahnya …” dan beberapa menit kemudian—jika tidak diulang—para saksi pun berseru, “Saaaaahhhh!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar