Sabtu, 31 Desember 2016

Manusia Gila Kehormatan

 

Assalamu’alaikum

Saudaraku seiman, Tak dpt dipungkiri bhw salah satu tabiat manusia itu suka disanjung & dihormati. Namun sanjungan & kehormatan yg berlebihan dpt membuat manusia terbuai lupa diri. Ia akan menganggap dirinya sbg seorang yg superior shg mudah utk meremehkan orang lain. Manusia yg suka dihormati jg cenderung sombong, arogan & suka menuntut pamrih.

Manusia yg gila kehormatan akan sulit memberikan pertolongan bila tanpa ada penghormatan, ia enggan berinfaq sodaqoh kalau tak disebut sbg dermawan, ia jg tak akan memberi nasehat kalau tak dibayar dgn yg sepadan. Baginya kehormatan & popularitas menjadi tujuan hidup. Pd hal berapa banyak orang yg menyesal menjadi populer krn membuat hidupnya sempit & menderita.

Lihatlah sosok sederhana pribadi Rasulullah SAW sbg seorang manusia yg paling agung nan sempurna. Dialah Muhammad SAW sbg pemimpin para Nabi & Rasul. Tanpa gelar kehormatan kebangsawanan tp ia senantiasa dikenal & dikenang manusia sepanjang zaman.

Mari kita luruskan NIAT dlm setiap beramal ibadah semata2 hanya utk mengharapkan ridho dari Allah SWT semata.

Allah SWT berfirman : “Jika kamu berpaling dari peringatanku, aku tak meminta upah sedikit pun dari padamu. Upahku tak lain hanyalah dari Allah belaka & aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yg berserah diri kepada-Nya”.(QS.Yunus:72).

Wallahu a’lam

By : Tommy Abdillah

Jumat, 30 Desember 2016

Ilmu Tanpa Amalan

Tausiyah senja

#Ilmu Tanpa Amalan#

Assalamu’alaikum

Saudaraku seiman, Kita patut bersyukur kpd Alah SWT bhw perkembangan teknologi informasi sangat membantu mempermudah urusan kehidupan manusia. Tdk hanya dlm hal komunikasi tp jg dlm hal utk mendapatkan informasi ilmu yg bermanfaat.

Hampir setiap saat informasi broadcast dari media sosial berseliweran. Ada informasi sampah alias hoax & ada jg informasi yg berguna. Postingan da’wah melalui media sosial jg patut disyukuri kehadirannya sebab tanpa hrs menghadiri majelis ilmu kita msh bisa belajar tentang kemuliaan ajaran Islam. Meskipun sebaik2 belajar adl bertemu dihadapan seorang guru.

Ilmu akan menjadi bermanfaat bagi orang yg mempelajari & bagi orang yg mengajarkannya ketika diamalkan. Ilmu itu akan menjadi penerang jalan kehidupan ketika dikaji & diamalkan. Sebaliknya Ilmu akan menjadi tak bernilai & tak bermanfaat hanya sebatas difahami sbg pemuas kecerdasan intelektual. Ilmu jg akan membekas ke dlm jiwa ketika diamalkan & diajarkan kpd orang lain.

Pepatah Arab mengatakan, Al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasyajari bilaa tsamarin : Ilmu tanpa amal ibarat pohon tidak berbuah. Mari jgn kita sia-siakan kehadiran media sosial da’wah utk menimba ilmu agar bisa diamalkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat kelak hingga ia ditanya tentang empat hal : (salah satunya adalah) tentang ilmunya, apa yang sudah dia amalkan dari ilmunya tersebut?”(HR.Tirmidzi).

Wallahu a’lam

By : Tommy Abdillah

Pesta Tahun Baru Bukan Budaya Islam

Pelajaran Hadist Hari Ini :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

Artinya : “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun), pasti kalian pun akan mengikutinya. Kami (para sahabat) berkata, Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi & Nashrani? Beliau menjawab, Lantas siapa lagi? (HR.Muslim No. 2669).

السلام عليكم ورحمة الله وبر كاته

Saudaraku seiman, Segala puji hanyalah milik Allah SWT. Shalawat & salam senantiasa tercurahkan kpd Rasulullah Muhammad SAW, para keluarganya, sahabat2 nya &ummatnya yg istiqomah diatas sunnahnya hingga hari kiamat.

Tahun 2016 akan segera berakhir. Detik2 pergantian tahun disambut dgn gegap gempita hampir diseluruh belahan dunia. Pesta malam tahun baru seolah2 sdh menjadi tradisi wajib tahunan dgn budaya pesta kembang api, meniup terompet, joget riang gembira, bergadang semalam suntuk, pesta miras & perbuatan maksiat lainnya.

Menurut catatan sejarah, Tahun Baru pertama kali dirayakan pd tgl 1 Januari 45 SM. Tdk lama setelah Julius Caesar dinobatkan sbg kaisar Roma, ia memutuskan utk mengganti penanggalan tradisional Romawi yg tlh diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yg menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dgn mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yg dilakukan orang2 Mesir.

Satu tahun dlm penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari & Caesar menambahkan 67 hari pd tahun 45 SM shg tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar jg memerintahkan agar setiap 4 tahun, satu hari ditambahkan kpd bulan Februari, yg secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dlm kalender baru ini. Tdk lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dgn namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dgn nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Pd mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yg dihitung sejak bulan baru pd akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pd tgl 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 & hingga kini seluruh dunia merayakannya pd tgl tsb.

Bagi seorang Muslim perayaan pesta malam tahun baru Masehi bisa berakibat :

1. Terkontaminasinya aqidah umat Islam dgn aqidah orang2 kafir. Umat Islam merayakan hari besar orang2 nashrani sementara umat Islam hanya memiliki 2 hari raya. Sebuah hadist dari Anas bin malik r.a,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Artinya : Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki 2 hari raya untuk bersenang2 & bermain2 di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, Aku datang kpd kalian & kalian mempunyai 2 hari raya di masa Jahiliyah yg kalian isi dgn bermain2. Allah telah mengganti keduanya dgn yg lbh baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri & Idul Adha (hari Nahr).”(HR.An-Nasai No.1556)

2. Perbuatan Tasyabbuh (menyerupai) orang2 kafir. Pasca perang salib yg berlangsung hampir 200 tahun ( dimulai thn 1095 M & berakhir thn 1247 M) yg dimenangkan oleh umat Islam.
Maka orang2 kafir merubah grand strategy utk memerangi umat Islam dari hard power menjadi soft power yaitu Ghazwu Al-fikri (perang pemikiran) & Ghazwu Ats-tsaqafi (perang peradaban). Perang ini memiliki tujuan jangka panjang yaitu pemurtadan. Jangka pendeknya pelarutan kepribadian (tdk bangga dgn identitas muslim), dekadensi moral, menanamkan pemikiran liberalisme, sekularisme, hedonisme, pluralisme. Dan pd akhirnya pelucutan akidah dlm arti tdk masalah secara identitas agamanya Islam tp perilaku sehari-harinya jauh dari tuntutan Islam.

Tasyabbuh adl sebuah perilaku yg dilarang oleh Rasulullah SAW sebagaimana sabdanya :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya : Barang siapa mengikut-ikut kebiasaan kaum (Yahud & Nasrani) maka ia menjadi bagian dari kaum itu. (HR.Ahmad).

3. Perbuatan yg sia-sia.

Pesta malam tahun baru identik dgn hura-hura & pest pora yg menghabiskan uang, waktu & tenaga. Sebuah perbuatan yg sia2 lagi mubazir, sedangkan mubazir itu adl temannya syetan. Pesta malam thn baru jg tdk mendatangkan kemanfaatan sedikitpun baik bagi keimanan, keilmuan maupun amal soleh. Allah SWT berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ

الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

Artinya : Sungguh beruntunglah orang2 yg beriman, (yaitu) orang2 yg khusyu’ dlm shalat mereka. Dan orang2 yg menjauhkan diri dari perkataan & perbuatan yg tidak berguna.(QS.Al-mu’minun:1-3).

Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menafsirkan ayat ini, Dan orang2 yg menjauhkan diri dari perbuatan & perkataan yg tiada berguna yakni dari kebathilan, yg mana hal itu mencakup jg kemusyrikn, sebagaimana yg dikatakan oleh sebagian mrk serta berbagai ucapan & perbuatan yg tdk membawa faedah & bermanfaat.

4. Melalaikan ibadah shalat.

Biasanya orang yg merayakan pesta tahun baru akan tidur diatas tengah malam ataupun bergadang. Bila tubuh kurang tidur & kurang istirahat dimalam hari maka akan sangat berat utk bangun shalat subuh. Pd hal orang yg berat mendirikan shalat subuh berjama’ah dimesjid adl ciri orang2 munafiq. Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيُصَلِّىَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِى بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

Artinya : “Sesungguhnya shalat yg paling berat bagi orang munafik adl shalat Isya & shalat Shubuh. Seandainya mereka tahu keutamaan yg ada dalam kedua shalat tersebut tentu mereka akan mendatanginya walau dengan merangkak. Sungguh aku bertekad untuk menyuruh orang melaksanakan shalat. Lalu shalat ditegakkan & aku suruh ada yg mengimami orang2 kala itu. Aku sendiri akan pergi bersama beberapa orang untuk membawa seikat kayu untuk membakar rumah orang yg tidak menghadiri shalat Jama’ah.”(HR. Bukhari no. 657 & Muslim no. 651, dari Abu Hurairah).

Jauhnya umat Islam dari kehidupan Islam dibawah naungan syari’at Islam membuat orang2 kafir semakin mudah mengajak umat Islam utk diarahkan kpd kekufuran bahkan berhasil dimurtadkan. Mari saatnya umat Islam sadar utk kembali kpd aqidah Islan yg lurus yaitu diantaranya dgn meninggalkan hadharah atau peradaban budaya yg bukan berasal dari aqidah Islam dgn tdk ikut-ikutan merayakan perayaan pesta malam tahun baru.

Bila hendak memanfaatkan hari libur maka perlakukanlah sama dgn hari2 yg lainnya tanpa hrs mengkhususkanya.

Ya Allah..lindungilah aqidah umat Islam dari serangan arus budaya orang2 kafir agar kami istiqomah diatas iman & Islam hingga ajal kami tiba. Aamiin ya rabb.

Wallahu a’lam

By : Tommy Abdillah

Rabu, 28 September 2016

Obat Kecewa, Jeritan Hati TKW di Malaysia

SAUDARA setanah air kita banyak merantau ke negeri jiran ini, baik dengan keahlian professional, akademisi, maupun yang bekerja sebagai pembantu rumah dan buruh pabrik. Semua aktivitas mengais rezeki ditekuni sebagai rangka menjalani takdirNya, ada kalanya ketidak-tahuan atau hal miskomunikasi dapat membuahkan problematika yang tak ringan penyelesaiannya di tanah rantau. Sedikit kisah dalam rubrik khas Ramadhan kali ini, semoga dapat menjadi cambuk motivasi dan bumbu hikmah serta semangat berbagi buat kita semua.

Dengan melindungi privasi serta menjaga aib saudara kita, maka kisah ini penulis rangkum menggunakan ‘gaya aku’.

***
“Saya sudah enam belas tahunan bu’, di Malaysia…” aku mengawali kisah ini. Kalau cerita dari awal, terlalu panjang, yang jelas aku berada disini karena perlu makan. Daerah kami musim kering waktu itu, di dusun ujung Jawa Timur. Lalu era Pak Harto, ada transmigrasi, jadi keluarga besar terpisah-daerah, ada yang ke Kalimantan, ada yang ke Sumatera. Aku mendaftar ikut menjadi TKW, pergi ke kota dengan modal urunan sanak saudara. Sedangkan suami menjadi kuli bangunan di Jakarta.

Ditipu calo, sudah pernah, dipangkas gaji sudah sering, tetapi aku tetap suka bekerja disini. Awal bencana adalahpermit sudah mati, tapi boss diam saja. Lalu mulailah boss bikin ulah dengan tidak memberi upah berbulan-bulan, akhirnya aku kabur… Pekerjaan tidak ada habisnya, tetapi gaji tak dikasih, dari manakah uang buat makan orang tua, satu anakku, dan saudara-saudariku di tanah air? Pikirku waktu itu.

Aku lari ke kantor Polisi, berkilo-kilo meter tak tahu arah, walhamdulillah Polisi yang berjaga itu menampungku di rumahnya. Sudah kuceritakan bahwa passportku di majikan, dan aku tidak digaji. Beliau berjanji akan membantuku.

Aku bekerja dengan teliti di rumahnya, berusaha selalu melayani majikan dengan servis terbaik, cuma satu hal tak tahan disana, kali ini majikanku selalu bertengkar. Entahlah pasal apa, setiap pagi dan malam, mereka berdebat sehingga membuat jantung berdegup kencang.

Suatu hari, sang istri berteriak, dan melemparkan gelas besar ke arah suaminya, prang! Pecahlah gelas, sebelum jatuh membentur lantai, terkena kepalaku sekilas, perihnya… Lalu mereka saling berteriak, tak henti-henti, dan itu terjadi setiap hari, astaghfirulloh! aku jadi ketakutan. Makanya aku kabur lagi setelah empat bulan disana, belum sempat dikasih gaji, tetapi aku punya beberapa puluh ringgit pemberian keponakannya karena kubantu berbenah.

Dan keponakan polisi itu juga mengajariku sholat.

Kukumpulkan keberanian untuk mencari Enjit, teman keturunan India yang dulu mengantarkan makanan ke rumah majikan lama, barangkali Enjit bisa membantuku.

Ternyata Enjit sedang pulang kampung, dan temannya menyuruhku bekerja melayani para pengunjung rumah makannya. Aku menyanggupinya, berapa pun salary tak peduli, yang penting kerja halal. Alhamdulillah seminggu disana, boss kedai memanggilku, lalu memberi beberapa puluh Ringgit. Dia berkata, “Ada kerja lebih cocok buat kamu…” aku gembira sekali.

Boss ternyata memiliki teman di sebuah usaha pasar raya, aku dilatih untuk menjadi kasir. Sebagai cadangan saja. Sementara tugas utama adalah memindahkan barang-barang, membersihkan gudang dan membantu pelanggan dalam berbelanja.

Aku rajin menabung, meskipun minimal satu setengah juta rupiah kukirimkan kepada orang tua supaya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anakku.

Dua tahunan itu aku akhirnya bisa membuat ‘permit’ dibantu oleh agent. Tetapi masih ada utang seribuan ringgit lagi dalam pembayaran kepada agent.

Didorong rasa ingin cepat melunasi pembayaran dan biaya sekolah anak yang bertambah, aku ditolong teman untuk menambah pekerjaan ‘part-time maid’.

Dan aku tak menyangka saat memiliki sekeping anting-anting dan 700 RM hasil kerja part-time dua bulan, sore itu pengalaman pahit terjadi.

Ada seorang lelaki besar yang merupakan warga lokal sini, dia meneleponku untuk membersihkan appartemennya, sebelum dia pindah ke appartemen yang baru. Mungkin dia mengetahui nomorku dari teman atau dari majikanku lainnya. Waktu itu, aku juga baru menggunakan telepon genggam. Setelah menyepakati jam kerja, aku melanjutkan pekerjaan di pasar raya. Jelang magrib barulah aku menuju ke appartemen lelaki itu.

Ternyata baru tiba di lift depan rumah, orang itu menarikku dengan kasar, leherku sampai lecet terkena kerah baju. Aku yang masih letih sehabis kerja, sungguh terkejut ketika orang itu memaksa untuk membuka baju! Aku pikir, inilah teguran buatku, karena sering keasyikan menerima job, sampai sering lupa sholat lima waktu. Aku berpikir juga, mungkin malam itu adalah malam kematianku. Namun ternyata Allah SWT masih mengizinkanku untuk hidup dan memperbaiki diri.

Alhamdulillah, setelah meraung-raung seraya berkejar-kejaran di dalam ruangan appartemen luas itu, di sudut ruangan aku memohon kepada lelaki itu untuk tidak menggangguku. Posisinya sudah tidak berbusana waktu itu. Dia mengatakan, “Sekaliii saja, aku siapkan bayaran besar…” tetapi aku meronta dan memohon minta dilepaskan.

Dengan izin Allah SWT, setelah aku sudah tidak bisa bersuara lagi, dia lepaskan cengkeramannya sambil berkata, “Keluarkan semua duitmu!”

Sambil melepaskan anting-antingku, ia ambil 700 RM yang kubawa, juga handphone, kemudian menendangku keluar. Aku ketakutan sekali, lalu berlari meuju taksi dan minta tolong pinjaman teman di rumah sewa untuk membayarnya.

Malam itu aku tersungkur bersyukur kepada Allah SWT karena sudah selamat dari peristiwa keji yang tak pernah terbayang olehku.

Malang masih merapat padaku, justru ketika aku bisa mudik dan melihat anak lulus SD, aku amat kecewa, ternyata suamiku sudah menikah lagi. Sakit hatiku, keluarga tidak diberitahukan, acara di sekolah anak pun ia tak datang, apalagi ketika kuketahui ada banyak kiriman uang yang kutransfer ke rekeningnya, ternyata dipergunakan untuk istri barunya. Ya Allah, aku sungguh kecewa dengan ulah suami saat itu.

Kembali lagi ke Kuala Lumpur, kuajak kakak dan iparku sekaligus. Bossku perlu karyawan dan asisten rumah untuk membantunya. Sementara aku menasihati anakku untuk sekolah yang baik dan harus pintar, aku punya target supaya dia bisa sarjana, supaya hidup kami bisa lebih baik.

Alhamdulillah aku berkenalan dengan banyak muslimah Indonesia yang kaya ilmu disini. Aku dibisikkan motivasi untuk melampiaskan kecewa dengan banyak beristighfar.Lebih baik aku memperbaiki diri, dari pada meratapi nasib. Akhirnya suamiku resmi melepaskanku dengan perceraian, dan anak malah memintaku untuk menikah lagi.

Beberapa tahun yang lalu, aku menikah dengan orang Indonesia (duda tanpa anak) yang tinggal di Kuala Lumpur juga, ia berasal dari daerah yang tak terlalu jauh dari tempatku mudik. Kami sama-sama mengurus permit,sama-sama mencicil motor, dan sama-sama menabung tiket mudik setiap dua tahun sekali. Aku merasa sangat bersyukur atas semua pengalaman ini, apalagi sekarang anakku sudah bisa berada di bangku kuliah, semoga cita-cita menjadi guru bahasa Inggris dapat dicapai olehnya, aamiin.

Penyesalan Sya’ban RA di Penghujung Hayatnya

ALKISAH seorang sahabat bernama Sya’ban RA. Ia adalah seorang sahabat yang tidak menonjol dibandingkan sahabat-sahabat yang lain.

Ada suatu kebiasaan unik dari beliau, yaitu setiap masuk masjid sebelum sholat berjamaah dimulai dia selalu beritikaf dipojok depan masjid.

Dia mengambil posisi di pojok bukan karena supaya mudah senderan atau tidur, namun karena tidak mau mengganggu orang lain dan tak mau terganggu oleh orang lain dalam beribadah.

Kebiasaan ini sudah dipahami oleh sahabat bahkan oleh RasululLah Shallallahu `alaihi Wa Sallam, bahwa Sya’ban RA selalu berada di posisi tersebut termasuk saat sholat berjamaah.

Suatu pagi saat sholat subuh berjamaah akan dimulai RasululLah Shallallahu `alaihi Wa Sallam mendapati bahwa Sya’ban RA tidak berada di posisinya seperti biasa. Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam pun bertanya kepada jamaah yang hadir apakah ada yang melihat Sya’ban RA. Namun tak seorangpun jemaah yang melihat Sya’ban RA.

Sholat subuhpun ditunda sejenak untuk menunggu kehadiran Sya’ban RA. Namun yang ditunggu belum juga datang.
Khawatir sholat subuh kesiangan, Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam memutuskan untuk segera melaksanakan sholat subuh berjamaah.

Selesai sholat subuh, Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam bertanya apa ada yang mengetahui kabar dari Sya’ban RA.
Namun tak ada seorangpun yang menjawab.

Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam bertanya lagi apa ada yang mengetahui di mana rumah Sya’ban RA.

Kali ini seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia mengetahui persis di mana rumah Sya’ban RA.
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang khawatir terjadi sesuatu dengan Sya’ban RA meminta diantarkan ke rumah Sya’ban RA.

Perjalanan dengan jalan kaki cukup lama ditempuh oleh Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam dan rombongan sebelum sampai ke rumah yang dimaksud.

Rombongan Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam sampai ke sana saat waktu afdol untuk sholat dhuha (kira-kira 3 jam perjalanan).

Sampai di depan rumah tersebut beliau Shallallahu `alaihi Wa Sallam mengucapkan salam. Dan keluarlah seorang wanita sambil membalas salam tersebut.

“ Benarkah ini rumah Sya’ban RA?” Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam bertanya.

“Ya benar, saya istrinya” jawab wanita tersebut. “

Bolehkah kami menemui Sya’ban RA, yang tadi tidak hadir saat sholat subuh di masjid?” .

Dengan berlinangan air mata istri Sya’ban RA menjawab:

“ Beliau telah meninggal tadi pagi”

InnaliLahi wainna ilaihirojiun…SubhanalLah , satu – satunya penyebab dia tidak solat subuh berjamaah adalah karena ajal sudah menjemputnya.

Beberapa saat kemudian istri Sya’ban bertanya kepada Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam,

“Ya Rasul ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia berteriak tiga kali dengan masing–masing teriakan disertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya”.

“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam. Di masing–masing teriakannya dia berucap kalimat,

“Aduuuh, kenapa tidak lebih jauh.”

“Aduuuh, kenapa tidak yang baru.“

“Aduuuh, kenapa tidak semua.”

Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam pun melantukan ayat yang terdapat dalam surat Qaaf (50) ayat 22 yang artinya:

“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.“

Saat Sya’ban RA dalam keadaan sakratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bukan cuma itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apa yang dilihat oleh Sya’ban RA (dan orang yang sakratul maut), tidak bisa disaksikan oleh yang lain.
Dalam pandangannya yang tajam itu Sya’ban RA melihat suatu adegan di mana kesehariannya dia pergi pulang ke Masjid untuk sholat berjamaah lima waktu.

Perjalanan sekitar 3 jam jalan kaki sudah tentu bukanlah jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban RA diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah–langkah nya ke Masjid.

Dia melihat seperti apa bentuk surga ganjarannya. Saat melihat itu dia berucap:

“Aduuuh, kenapa tidak lebih jauh.”

Timbul penyesalan dalam diri Sya’ban RA, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih banyak dan surga yang didapatkan lebih indah.

Dalam penggalan berikutnya Sya’ban RA melihat saai ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin. Saat ia membuka pintu berhembuslah angin dinginyang menusuk tulang. Dia masuk kembali ke rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Jadi dia memakai dua buah baju.

Sya’ban RA sengaja memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar. Pikirnya jika kena debu, sudah tentu yang kena hanyalah baju yang luar, sampai di masjid dia bisa membuka baju luar dan solat dengan baju yang lebih bagus.

Dalam perjalanan ke tengah masjid dia menemukan seseorang yang terbaring kedinginan dalam kondisi yang mengenaskan.
Sya’ban RA pun iba , lalu segera membuka baju yang paling luar dan dipakaikan kepada orang tersebut dan memapahnya untuk bersama–sama ke masjid melakukan sholat berjamaah.

Orang itupun terselamatkan dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan sholat berjamaah.

Sya’ban RA pun kemudian melihat indahnya sorga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut.
Kemudian dia berteriak lagi :

“Aduuuh, kenapa tidak yang baru.“

Timbul lagi penyesalan di benak Sya’ban RA. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala yang begitu besar, sudah tentu ia akan mendapat yang lebih besar lagi seandainya ia memakaikan baju yang baru.

Berikutnya Sya’ban RA melihat lagi suatu adegan saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke segelas susu. Bagi yang pernah ke tanah suci sudah tentu mengetahui sebesar apa ukuran roti arab (sekitar 3 kali ukuran rata-rata roti Indonesia)

Ketika baru saja hendak memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta diberikan sedikit roti karena sudah lebih 3 hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal tersebut, Sya’ban RA merasa iba.

Ia kemudian membagi dua roti itu sama besar, demikian pula segelas susu itu pun dibagi dua. Kemudian mereka makan bersama–sama roti itu yang sebelumnya dicelupkan susu, dengan porsi yang sama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian memperlihatkan ganjaran dari perbuatan Sya’ban RA dengan surga yang indah.
Ketika melihat itu diapun berteriak lagi:

“Aduuuh, kenapa tidak semua.”

Sya’ban RA kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis tersebut tentulah dia akan mendapat sorga yang lebih indah. Masyaallah.

Kaya atau Miskin Bukan Jaminan Bahagia

MATERI bukanlah ukuran mutlak untuk mengukur kadar kebahagiaan. Sebab, banyak pula orang yang bergelimang harta namun dia tidak bahagia.

Kemiskinan pun bukan alasan untuk hidup tidak bahagia. Memang, kemiskinan bukanlah jaminan seseorang bisa bahagia begitu juga kekayaan. Keduanya bukan syarat mutlak untuk hidup bahagia.

Terkadang, kita bisa mendapatkan kebahagiaan dengan cara yang sederhana. Ya, amat sederhana. Di mana hati kita selalu terpaut pada-Nya dan bersyukur atas apa yang Dia anugerahkan untuk kita.

Bukan soal kekayaan atau materi yang membuat orang bahagia. Bukan pula kemiskinan yang selalu membuat kita meratapi kesedihan. Tapi bagaimana kita bisa menikmati dan mensyukuri setiap nikmat yang telah Dia berikan.

Banyak orang kaya yang tidak bahagia. Terlebih juga orang miskin. Lebih banyak tdak bahagianya dibanding bahagia. Iya, kan? Kenapa demikian? Penyebabnya mungkin sederhana kita mensyukuri setiap nikmat-Nya.

Kaya atau miskin bukan syarat mutlak untuk seseorang bisa bahagia. Banyak hal yang mungkin tanpa kita sadari bia membuat bahagia. Misalnya, udara sejuk di pagi hari yang setiap hari kita hirup, bila kita rasakan dan hayati betapa itu adalah nikmat yang luar biasa.

Bila kita hitung setiap udara yang masuk ke tubuh kita, niscaya tidak akan bisa dan tidak mampu. Karena begitu banyak udara segar yang ke tubuh kita setiap detik. Itu baru udara saja, jika kita bersyukur maih banyak karunia-Nya yang belum sempat kita syukuri.

Bila kita renungkan, kita punya mata untuk melihat, mulut untuk berbicara, telinga untuk mendengar, dan masih banyak lagi karunia-Nya. Bukankah semua itu dapat membuat kita bahagia, bila kita mensyukurinya?

Nikmat Tuhanmu yang manakah kaudustakan?

Materi Bukanlah Segalanya

Bila kita hidup hanya mencari materi, itu bukanlah segalanya. Meskipun kita menumpuk-numpuknya di dalam rumah dengan berbagai kemewahan pun tidak menjamin kita bahagia.

Justru, apa yang kita lakukan itu akan sia-sia belaka. Kita hanya mengejar dunia yang fana. Perlu diketahui, semua kemewahan itu tidak akan di bawa sampai ke liang kubur. Yang akan menemani kita adalah amal ibadah kita. Dialah teman sejati kita.

Segala kemewahan yang kita miliki kelak akan dimintai pertanggung jawaban-Nya di akhirat. Ke manakah semua itu kita gunakan? Apakah hanya untuk foya-foya?

Padahal, kita tahu banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan ulurkan tangan. Alangkah baiknya, kalau kita membantu mereka. Dengan harta yang sudah di titipkan Allah pada kita.

Bukankah di dalam harta kita ada hak mereka?

Sudah menjadi kewajiban kita untuk mengeluarkannya. Salah satu kunci kebahagiaan adalah dengan berbagi kepada sesama. Dengan begitu, kita bisa saling merasakan penderitaan saudara kita.

Bukankah sesama muslim itu bersaudara?

Dan Allah selalu menganjurkan kita menolong saudara. Bahagia itu sederhana, dengan berbagi kita bisa bahagia. Pun menolomg saudara sesama muslim. Alangkah indahnya hidup ini, bila kita saling menolong dan berbagi kepada sesama.

Kebahagiaan itu bukanlah di cari. Tapi di ciptakan. Jika kita ingin bahagia, maka ciptakan kebahagiaan itu. Bagaimana caranya? Banyak cara yang bisa dilakukan. Misalnya, belajar mensyukuri nikmat-nikmat yang sering kita anggap kecil: seperti menghirup udara segar setiap pagi, atau mungkin bisa dengan berbagi dan menolong sesama. Ciptakan kebahagiaanmu sendiri!

Miskin Bukan Alasan Untuk Mengeluh

Mungkin kita sering mengeluh dengan keadaan. Apalagi kalau hidup sudah pas-pasan. Kita selalu menjadikan kemiskinan sebagai alasan. Alasan yang juga klise, mengeluh. Mengeluh bukanlah solusi tepat untuk keluar dari masalah.

Bisa jadi mengeluh dapat menambah masalah. Miskin itu bukan nasib yang harus di ratapi selama berhari-hari. Dan bukan pula alasan untuk kita tidak bersyukur apalagi sampai menggadaikan iman.

Janganlah kita menggadaikan iman karena sebuah kemiskinan. Biarlah hidup miskin di dunia tapi tidak di akhirat. Iman itu kuncinya surga. Bila kunci surga sudah kita gadaikan atau kita jual dengan dunia yang tidak seberapa ini bagaimana kita bisa masuk surga?

Kalau kuncinya saja sudah tak ada di genggaman kita. Kemiskinan itu nasib yang dapat di ubah. Allah SWT menegaskan dalam alqur’an bahwa Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri mau mengubahnya.

Artinya apa?

Kalau kita tidak ingin hidup miskin dan ingin hidup layak ya kita harus mengubah kemiskinan itu. Bagaimana caranya? Ya, dengan bekerja lebih giat lagi.

Banyak kasus kriminal yang terjadi latar belakangnya adalah faktor kemiskinan. Himpitan ekonomi sering kali membuat orang gelap mata. Dan tidak bisa membedakan antara yang halal atau haram. Tak jarang pula, ada yang sampai menjual imannya dan masuk agama lain hanya karena ingin hidup lebih layak.

Janganlah kita sampai menjual iman. Karena itu sama saja membuang kunci surga yang sudah berada di tangan. Jangan kotori hati ini dengan sering mengeluh dan mengeluh. Karena tak ada gunanya. Apapun keadaan hidup kita saat ini, kaya atau pun miskin belajarlah untuk bersukur. Karena kunci kebahagiaan adalah dengan mensyukuri segala nikmat-Nya.

Hidup Ini adalah Ujian

SESUNGGUHNYA setiap fase dalam hidup ini adalah ujian. Selama kita hidup, ujian akan selalu membersamai kita. Entah itu ujian berupa hal yang menyenangkan ataupun ujian berupa hal yang menyakitkan. Semuanya adalah ujian.

Ujianlah yang akan membuat kita belajar akan banyak hal. Karena melalui sebuah ujian, Allah hendak menyampaikan hikmah-hikmah-Nya kepada kita. Kita akan tumbuh menjadi orang yang lebih baik ketika kita bisa lulus dalam ujian kehidupan yang Allah berikan.

Kelak, kita akan tumbuh dengan pemahaman hidup kita yang lebih baik. Melalui ujian itu, Allah akan sertakan kemampuan-kemampuan hebat yang sebelumnya sangat sulit untuk kita taklukkan. Salahsatunya adalah kemampuan diri mengendalikan perasaan ketika ujian itu datang.

Melalui serangkaian ujian yang pahit ini, kelak kita akan bersyukur karena adanya hari ini. Karena dengan ujian-ujian inilah Allah membentuk kita menjadi manusia-manusia yang berjuang dalam kehidupannya. Bukan hanya menjadi orang yang lalai dalam angan-angan kosongnya.

Maka, bersyukurlah atas ujian yang hari ini Allah hadirkan. Karena esok hari, ujian ini akan menjadi sebuah kisah yang menarik bagi anak-cucu kita.

Alkisah, Santri Vs Tukang Cukur

Satu siang, di tempat cukur rambut terjadi obrolan antarasi tukang cukur dengan pelanggannya. Kebetulan yang dicukur itu Zaid, seorang santri alumni sebuah Pondok Pesantren ternama.

Kian lama obrolan dua orang itu kian hangat saja.  Dari tema yang mulanya ngalor-ngidul, ke sana kemari si tukang cukur yang “abangan” itu membawa obrolan ke masalah seputar akidah.

“Kalau menurut saya, Tuhan itu tak benar-benar ada ,“ tukang cukur memulai.

“Lho kok bisa mengatakan seperti itu?” Zaid mengejar tanya.

“Ya lihat saja kehidupan ini Mas, banyak orang yang hidupnya nelangsa, penuh masalah, ribet semrawut, bahkan saking beratnya masalah itu ada yang sampai berani bunuh diri. Katanya Tuhan itu maha Pengasih yang bakal menolong setiap hambanya,. Nah buktinya mana?”

Hmm.  Zaid terdiam. Dia tak langsung menjawab. Bukan lantaran tak mampu, tapi Zaid tengah mencari jawaban yang pas buat si tukang cukur. Dia teringat benar pesan Kiainya agar bisa menyampaikan setiap hal sesuai dengan nalar lawan bicaranya.

Hingga berapa lama, Zaid belum juga angkat bicara. Si tukang cukur hampir menyelesaikan tugasnya. Tiba-tiba Zaid melihat seorang tengah duduk di luar tempat cukur rambut. Tampang dan rambut orang itu begitu acak-acakan dan berantakan. Seberkas ide pun mengalir  di kepala Zaid.

“Nah Pak, kalau Anda mengatakan Tuhan itu tak ada, maka saya katakan tukang cukur itu tak ada.“

“Lho, gimana sih, wong saya itu ada di sini,” tukang cukur tak mengerti

“Pokoknya, saya yakin kalau tukang cukur itu tak ada,“ Zaid ngeyel.

“Kalau tukang cukur itu ada, lha kok masih ada orang yang rambutnya berantakan,“ jawab Zaid sambil menunjuk seorang tak jauh dari tempat itu.

“Anda ini gimana sih, dia yang di sana itu maksudnya, kalau dia rambutnya berantakan, ya sebab tak mau datang ke tempat ini, coba kalau ke sini, pasti saya rapikan,“ sergah Tukang cukur.

“Nah, seperti itu juga pak, kalau ada orang yang ditumpuk masalah dan hidupnya begitu ribet, bukan lantaran Tuhan itu tak ada, tapi sebab si pemilik masalah itu tak mau datang menghadap Tuhannya, Allah. Coba kalau datang, berserah diri, memohon ampun dan pertolongan, Allah pasti menolongnya,” jawab Zaid mantap.

Sang Tukang cukur pun terdiam. Skak mat!

Kisah Uang 100 Ribu

Seorang guru mengangkat uang 100 ribu rupiah di depan murid-muridnya. Lalu ia bertanya,

“Siapa yang mau uang ini?”

Semua murid mengangkat tangan mereka, tanda ingin.

Kemudian guru itu meremas uang 100 ribu itu dengan tangannya, dan kembali bertanya, “Sekarang siapa yang mau uang ini?”

Kembali semua murid mengangkat tangannya.

Selanjutnya ia melemparkan uang itu kelantai dan menginjak-injaknya dengan sepatunya, sampai uang itu jadi kotor. Setelah betul-betul kotor oleh debu ia berkata,

“Sekarang siapa yang mau?”

Tetap saja seluruh murid mengacungkan tangan mereka. Saat itulah sang guru memasukkan pelajarannya,

“Inilah pelajaran kalian hari ini. Betapapun kalian berusaha merubah bentuk uang ini tidak akan berpengaruh kepada nilainya.”

“Bagaimanapun kalian dihinakan, diremehkan, direndahkan, dilecehkan, dinistakan, kalian harus tetap yakin bahwa nilai hakiki kalian tidak akan pernah tersentuh.”

“Ketika itu kalian akan tetap berdiri kokoh setelah terjatuh. Kalian akan memaksa seluruh orang untuk mengakui harga dirimu.”

“Bila kalian kehilangan kepercayaan terhadap diri kalian sendiri dan nilainya, saat itulah kalian kehilangan
segala-galanya”.

Wahai Lelaki, Tugasmu Memberi Bukti bukan Janji!

LAKI-LAKI hari ini berbeda dengan laki-laki pada masa-masa sebelumnya. Laki-laki yang kita temui hari ini tidak sama dengan laki-laki yang pernah hidup dan mengisi cerita-cerita mengagumkan dalam buku-buku yang menggetarkan.

Laki-laki yang kita temui di luar rumah tentunya akan berbeda dengan yang ada di dalam rumah. Tidak seperti ayah, ayah adalah laki-laki yang berbeda. Meski bagaimanapun susahnya mengungkapkan cinta, ayah masih menjadi cinta pertama.

Bila ada laki-laki di luar sana yang mengajakmu pergi berdua, maka tanyakan padanya bagaimana bila kelak anak perempuannya diajak pergi oleh laki-laki sepertinya? Bila ada laki-laki di luar sana yang mencintaimu sedemikian rupa, tanyakan padanya apakah dia rela anak perempuannya nanti dicintai laki-laki yang memiliki sifat dan sikap sepertinya?

Tidak ada laki-laki yang belajar menjadi baik dengan cara seenaknya mengikat perasaan perempuan, menggenggam tangannya kemana-mana, dan memujinya sedemikian rupa.

Karena ketika ia belajar menjadi baik, laki-laki itu akan tahu dan mungkin bertanya bagaimana cara menghormatimu.

Bila kamu menemui yang demikian, bantulah ia menjadi baik. Bantulah ia dengan pengetahuan tentang perempuan yang seringkali malu ia tanyakan. Katakan padanya dengan lantang, “Selamat menjadi laki-laki, tugasmu adalah memberi bukti bukan janju.

Saat Ilmu Menuntut Pengamalan

SETIAP orang pasti mengetahui tentang pentingnya sebuah ilmu. Apa pun rela dikorbankan demi mendapatkan ilmu pengetahuan. Banyak orang bepergian jauh, melintasi samudera, melewati batas benua demi menuntut ilmu.

Lalu, bagaimanakah ketika seseorang telah mendapatkan ilmu yang ia cari? akankah dia mendiamkannya saja?

Tidak … bukan begitu yang Islam ajarkan.

Abdullah Ibnu Mu’taz berkata, “Al ‘ilmu bilaa ‘amalin, kasy syajari bilaa tsamratin.
Ilmu tanpa amalan, bagaikan pohon yang tak berbuah.”

Hakikat ilmu, pasti menuntut sebuah pengamalan. Bagaimana pun bentuk dan cara pengamalannya, yang pasti tak ada yang tersia dari ilmu yang telah dicari dengan susah payah.

Kita menyadari, bahwa ilmu tidaklah bermanfaat jika tak ada amalan yang dilaksanakan oleh sebab adanya ilmu itu.

Namun, terkadang kita terlupa, terlalu bangga dengan apa yang telah kita pelajari. Hingga saatnya tiba, kita berdiri termangu dalam sebuah kebimbangan serta tanya, “Apa yang telah aku lakukan dengan ilmu yang kumiliki? Sudahkah ia berbuah manis amalan? Ataukah sudah kuajarkan agar berbunga kemanfaatan bagi orang lain?

Sepertinya tanya itu belum bisa terjawab.

Kita masih terlena dengan dunia; dengan kebanggaan akan ilmu yang kita punya. Coba tanyakan pada kalbu ini sekali lagi, “Akankah dirimh tetap begini? Bukankah ilmu yang kaupunya menuntut dirimu untuk mengamalkannya?”

Ketika waktu masih belum terlambat, marilah kita beramal dengan ilmu yang kita miliki, serta ajarkan pada orang lain.

Sibuk

SIBUK apakah engkau?
Dzikir pagi-petang tak jua tergenapi
Keberkahan waktu dhuha terlewati
Apalagi berdiri di malam hari
Untuk munajat dan berserah diri
Paling hanya bangun dan tidur lagi
Tafakur tak penah mampir di hati
Kalam suci pun hanya terdiam di lemari
Sibuk apakah dirimu?
Ketika bocah Palestina menghindari mesiu
Manakala sang fakir tergugu
diterkam lapar memburu
Saat saudaramu tak jemu
berebut bersedekah atau mencari ilmu
Dan muslim sedunia saling berpacu mengalahkan waktu
Kesibukan apa lagi yang kauhadapi?
Puaskan hobi eksiskan diri
Cari harta sana sini
Pertahankan jabatan setengah mati
Menimbun materi tak henti-henti
Banggakan keturunan paling ahli
Hati-hati…
Sekali kali berhati-hatilah
Sibukmu itu karena nafsu yang membelitmu,
Sampai kaulupa waktu
Terpedaya oleh kesenangan semu
Hingga tak kunjung membuatmu tahu
antara membagi urusan hidup dan matimu
“Ketahuilah jika seseorang tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti ia akan disibukkan dengan hal-hal yang buruk,” (Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah).

‘Mereka Merindukan Surga-Mu’

Dalam sebuah hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan Allah SWT bertanya kepada malaikat, “Apa yang dirindukan hamba-hamba-Ku dari-Ku?” Malaikat menjawab, “Mereka merindukan surga-Mu.

Allah bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Malaikat menjawab, “Tidak.” Allah bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu kalau mereka pernah melihatnya?”Malaikat menjawab, “Mereka tentu akan lebih merindukannya.

Adam AS, bapak segenap manusia, dinyatakan oleh Allah pernah berada di Surga beberapa waktu lamanya sebelum kemudian diturunkan ke bumi.

Kemudian, Allah SWT mengisahkan kisah Adam AS kepada keturunannya. Ibnu al-Qayyim berkata, “Dengan demikian mereka seakan-akan pernah menyaksikannya dan ada bersama Adam AS di dalamnya.”

Menurut Ibnu al-Qayyim, manusia tercipta untuk surga dan surga tercipta untuk manusia. Dengan begitu, manusia harus segera memenuhi seruan Tuhan dan segera menuju surga.

Laksana seorang yang tinggal di kampung pengembaraan, lalu tersadar akan kampung halamannya yang menyenangkan, tentu dia merindukan kembali ke kampung halamannya.

Namun, Adam AS dan keturunannya tidak akan mudah kembali ke kampung halamannya yang menyenangkan itu. Lantaran Adam AS dan keturunannya diciptakan dari struktur tubuh yang mengharuskan mereka berbaur dengan musuh-musuh mereka, iblis dan kroni-kroninya.

Adam AS dan keturunannya seakan-akan tengah berada dalam perjalanan jauh. Sementara, musuh-musuh mereka mengintainya dari segala penjuru: dari depan, dari belakang, dari kiri, dan dari kanan mereka. Sehingga, Adam AS dan keturunannya senantiasa berada dalam ujian.

Malah, selain itu mereka dilengkapi pula dengan hawa nafsu. Lebih jauh, ujian itu sengaja diujikan oleh Allah kepada manusia. Allah SWT berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa dia akan dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban?” (QS al-Qiyamah [75] : 36).

Dalam ayat lain Allah berfirman, “Maka, apakah kalian mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main?” (QS al-Mukminun [23] : 115). Manusia seyogianya menelaah ayat-ayat tersebut agar selalu ingat dan selalu berhati-hati menjalani hidupnya di dunia ini.

Amalan manusia semata tidak akan mampu mengantarkan kerinduannya masuk ke dalam surga. Allah berfirman, “Masuklah kalian ke dalam surga disebabkan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS an-Nahl [16] : 32).

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak seorang pun akan masuk surga karena amalnya. Para sahabat bertanya: Apakah engkau juga wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Demikian pula aku, hanya saja Allah telah memberikan rahmat-Nya kepadaku.” (HR Bukhari dan Muslim).

Manusia berhak merindukan surga. Manusia berhak memasukinya. Sepanjang, dua hal terpenuhi, rahmat Allah dan amal saleh. Namun, rahmat Allah jauh lebih menentukan.

Masih Percaya Zodiak?

ZODIAK, masa gak tahu zodiak? Enggak? Kalau begitu bagus deh.

Zodiak itu ramalan bintang yang berdasarkan tanggal serta bulan kelahiran untuk menentukan karakter dan kepribadiaan seseorang.

Sudah tahu kan bagaimana hukum kalau percaya ramalan?

Eits, kita baca dulu yuk sampai selesai.

Di kalangan pemuda masa kini, hal tersebut sudah dianggap biasa, mencari-cari informasi tentang kehidupan, kesehatan, percintaan, sampai rezeki melalui zodiak/horoskop. Bahkan ada yang sengaja melakukan fasilitas berlangganan untuk mendapatkan info setiap harinya dari ponsel mereka.

Seakan nasib hidup ini ditentukan oleh zodiak, sehingga secara tidak langsung kita meyakini dan menggantungkan keimanan kita kepada selain Allah.

Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab sunannya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

“Barangsiapa mengambil ilmu perbintangan, maka ia berarti telah mengambil salah satu cabang sihir, akan bertambah dan terus bertambah.”

Bukan hanya itu, ada firman Allah dalam QS. An Naml: 65;

“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”

Jadi, berhenti yuk untuk percaya hal gituan. Karena cukup jelas bahwa hal tersebut adalah perbuatan syirik!

Sudah tahu kan kalau syirik itu apa?

Apa, enggak tahu juga? Kalau kamu harus berhenti membaca hal begituan, lebih baik ngaji yuk.

TKW Terjerat Utang

SAUDARA setanah air kita banyak merantau ke negeri jiran ini, baik dengan keahlian professional, akademisi, maupun yang bekerja sebagai pembantu rumah dan buruh pabrik. Semua aktivitas mengais rezeki ditekuni sebagai rangka menjalani takdirNya, ada kalanya ketidak-tahuan atau hal miskomunikasi dapat membuahkan problematika yang tak ringan penyelesaiannya di tanah rantau. Sedikit kisah dalam rubrik khas Ramadhan kali ini, semoga dapat menjadi cambuk motivasi dan bumbu hikmah serta semangat berbagi bagi kita semua.

Dengan melindungi privasi serta menjaga aib saudara kita, maka kisah ini penulis rangkum menggunakan ‘gaya aku’.

***

Persisnya beberapa belas tahun yang lalu, aku masih remaja dan keluarga kami memang bukan keluarga yang tercukupi. Kami tinggal di dusun terpencil di Jawa Barat. Alhamdulillah gubuk pemberian paman kami tempati, makanan sepiring kami bagi sebelas, air putih yang kami saring dari sungai, daun-daunan menjadi sumber rezeki untuk dikumpulkan dan diikat serta dijual ke pasar.

Aku tidak mengerti tepatnya kapan, bapak dan ibu berdiskusi tentang utang-utang pamanku, dan pelik sekali, aku dan empat adik berusaha membantu keluarga paman dengan kerja serabutan, meski selalu tak mencukupi, sebab paman memiliki utang besar kepada pengijon. Waktu itu aku lulus SMP, ada teman yang berasal dari kampung sebelah, mengajakku bekerja di Malaysia. Dalam kebingungan yang amat sangat, aku juga terharu melihat adikku rela dinikahkan dengan anak si pengijon (yang sudah memiliki beberapa istri), demi mengurangi beban utang paman.

Singkat cerita, sisa tabungan orang tuaku yang terlipat-lipat di balik tikar, kupergunakan untuk membuat passport dan keperluan transportasinya dipinjami oleh temanku. Dengan memikirkan perbaikan hidup keluarga, aku sungkem kepada orang tua untuk melangkah bekerja ke Malaysia.

Kami beberapa minggu ditampung di sebuah rumah, temanku menyebut kegiatan ini sebagai ‘training’, aku dan belasan wanita di dalamnya bergantian mengerjakan banyak hal, di antaranya mencuci baju-baju (yang entah kenapa begitu banyaknya, kupikir mungkin ini seperti membantu kegiatan jasa laundry), membersihkan banyak barang dapur, mengepel lantai, melipat kertas-kertas, dan lain-lain, termasuk ada yang sibuk membantu menyelesaikan jahitan busana atau mengecat dinding.

Selanjutnya kakiku benar-benar berada di luar negeri, tak banyak yang bisa kukagumi waktu awal datang, karena yang kubayangkan adalah keluarga dan masa depan orang tua serta adik-adikku. Teman menampungku dalam bilik yang disewanya, dan mengantarkanku ke rumah seorang boss pemilik rumah makan, disitulah pertama kali aku bekerja. Aku tidak mengeluh, bekerja keras sudah menjadi makanan sehari-hari sejak aku kecil, kalian bisa membayangkan badanku harus bangun pukul empat pagi, lalu tidur pukul dua malam. Sebulan awal itu, aku membantu pekerjaan rumah di rumah besar dan di restoran sekaligus.

Satu hal yang baru kupahami, ternyata enam bulan awal bekerja, aku hanya diberi pegangan uang 10 RM (1 Ringgit Malaysia kira-kira Rp 3.300 sekarang) tiap bulan karena majikan sudah memberikan gaji kepada temanku, dan itu adalah untuk membayar utang-utang kepadanya. Aku beruntung, makan minum tidak kekurangan di rumah majikanku ini.

Akan tetapi ada hal lain yang baru kuketahui pula waktu itu, ternyata ‘surat izin kerja’ alias permitku tidak ada.

Di pertengahan tahun, tepat setelah aku ditugaskan mengurus kedai makanan milik majikan, sekaligus tinggal di sana, temanku harus mudik karena ayahnya meninggal dunia. Dan kala itu, kutitipkan beberapa hadiah kecil yang diberikan oleh anak majikan kepadaku, yaitu sebuah bantal, beberapa kaos bekas, dan beberapa lembar rupiah (sekitar tiga puluh ribuan rupiah yang tersisa di sakuku selama dalam perjalanan) buat keluargaku.

Majikanku berkata bahwa mereka akan membuatkan permit, namun pembayarannya harus potong gaji. Tak ada pilihan bagiku, lagi pula yang kukenal hanya beberapa pelanggan resto dan dua pembantu rumah lainnya di tempat ini, sehingga aku mengangguk. Nasib baik, sisa gajianku bisa kutabung, dan dua tahun kemudian aku dijadwalkan bisa pulang kampung.

Tapi rencanaku tak berjalan mulus, pembantu rumah boss sudah minta dipulangkan, memang dia sudah tiga tahun bekerja dan orang tuanya sedang sakit keras. Malah karena terketuk akan penderitaan keluarganya yang ternyata lebih pedih dariku, kupinjamkan ia tabungan yang kukumpulkan berbulan-bulan, sekitar dua juta rupiah waktu itu. Alhamdulillah setahunan setelah itu, aku baru mengetahui kalau ia mengembalikan pinjaman dengan pergi ke kampungku, memberikan uang itu kepada keluargaku.

Boss dan keluarganya punya banyak urusan di daerah lain, restonya pun diuruskan oleh anak dan keponakannya. Mereka semua cukup baik, hanya saja seluruh pekerjaan rumah tangga menjadi harus kukerjakan sendiri. Aku sampai pernah pingsan dua kali, mungkin karena terlalu capek.

Pembantu yang satu, tak kembali dari mudiknya, yang satu lagi dibawa boss buat menguruskan tempat lain, dan aku membereskan resto di pagi dan malamnya, sedangkan sepanjang siang berada di rumah besar dengan gundukan pakaian kotor, sesekali mencuci beberapa tas kumal, mencuci mobil sebanyak empat buah, memasak makanan, merapikan banyak ruangan dengan mainan anak-anak majikan, dan mengurus dua ekor kucing mereka.

Di tahun keempat, aku akhirnya bisa pulang kampung, luar biasa tangisan haru bagiku waktu itu. Meskipun aku sempat kecopetan setiba di tanah air, tapi perbekalan tabunganku mencukupi kebutuhan keluarga. Dua bulan di tanah air, aku pergunakan waktu untuk membantu orang tua dalam menggarap sawah tetangga. Sisa utang paman di pengijon masih ada, namun dapat kami lunasi dengan cicilan beberapa bulan lagi.

Aku termasuk beruntung, majikan mengantarkan dan menjemputku kembali di bandara. Lalu tahun berikutnya aku tak susah berhubungan dengan keluarga, orang tua dan aku bisa sms-an, kami membeli handphone sederhana, boss-ku menolong untuk mengisikan pulsa jika masa berlaku kartunya habis.

Kata anak dari majikanku, “Bik, tau tak kenapa bibik jaga rumah ni dan banyak lagi kerja bibik, bukan diajak ke luar kota atau ke resto seharian seperti dulu?”

Aku tak tahu… dan menggeleng.

Dia melanjutkan, “Sebab bibik tuh rajin dan cerdas, kami sayangkan bibik, saya suka masakan bibik…” sungguh aku terharu. Yang tadinya pening sekeluarga karena jeratan utang, ternyata aku bisa belajar tentang hidup dengan merantau begini, apalagi aku baru mengetahui bahwa beberapa kabar teman yang berbarengan berangkatnya waktu dulu, ternyata ada yang sakit kanker dan meninggal—tanpa diurusi oleh majikannya, ada juga yang menjadi stress karena diperkosa. Sementara aku bertambah banyak pekerjaan di istana boss ini, ternyata karena disayangi. Alhamdulillah.

Aturan Tanpa Sanksi, Ibarat Macan Tak Bergigi

SETIAP manusia berakal, apapun agama dan latar belakangnya pasti sepakat bahwa aturan itu diperlukan. Terlepas dari mana sumber aturan, aturan dibuat untuk mengatur segala sesuatu. Dan jika ada aturan maka pasti ada sanksi bagi pelanggarnya. Jika tidak ada sanksi, aturan ibarat macan ompong, tidak menakutkan, tidak mungkin bisa memaksa orang untuk menerapkan. Dalam berkendara ada aturan lalu lintas, jika melanggar maka akan mendapat sanksi. Di sekolah ada aturan, jika melanggar ada sanksi, dalam UU ada pasal-pasal ketentuan dan juga pasti ada pasal yang mengatur sanksi. Begitulah, ada aturan pasti ada sanksi.

Islam sebagai agama sempurna sekaligus sebagai ideologi juga telah menentukan aturan kehidupan manusia. Aturan terkait dirinya sendiri semisal makanan, akhlak, pakaian. Aturan terkait dengan hubungan sesama manusia, misalnya aturan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan, peradilan. Dan aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, misalnya ibadah dan akidah. Islam mempunyai sistem aturan yang lengkap dan sekaligus mempunyai seperangkat sistem sanksi.

Memang tidak semua pelanggaran ditetapkan sanksinya, sanksi hanya diberikan pada kemaksiatan yang terkait dengan perbuatan wajib dan haram saja. Meninggalkan kewajiban dan melaksanakan keharaman akan mendapat sanksi, sedangkan meninggalkan perbuatan sunah, melaksanakan perbuatan makruh tidak mendapat sanksi. Sanksi juga ditetapkan atas pelanggaran aturan yang telah ditetapkan negara, namun bukan sembarang negara, akan tetapi negara Khilafah yang menjadikan akidah Islam sebagai pondasi.

Jenis sanksi pun sudah ditetapkan, yaitu hudud, jinayat, ta’zir, dan mukhalafat. Hudud adalah sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan jenisnya oleh Allah SWT, di antaranya untuk kasus zina, liwath (homoseksual), pencurian, pembegalan, dan murtad. Allah SWT menetapkan larangan atas perbuatan-perbuatan tersebut sekaligus menentukan jenis hukumannya. Jinayat adalah sanksi untuk kasus penganiayaan dan serangan terhadap badan. Misalnya pembunuhan, penyerangan atas tubuh manusia.

Ta’zir adalah pelanggaran terhadap apa-apa yang telah ditentukan Allah namun tidak ditetapkan jenis sanksinya dan tidak termasuk dalam perkara hudud dan jinayat. Contoh perkara yang masuk kriteria ta’zir adalah perbuatan mendekati zina, meninggalkan salat, gangguan keamanan, melanggar kehormatan. Ta’zir ditetapkan secara ijtihad dan dilegalisasikan kepala negara. Sedangkan mukhalafat adalah sanksi atas pelanggaran yang tidak termasuk pada hudud, jinayat dan ta’zir. Mukhalafat semata kewenangan penguasa. Namun penguasa tetap dibatasi hukum syara’, kewenangan penguasa tidak boleh menghalalkan yang haram, dan sebaliknya. Tidak boleh juga mewajibkan perbuatan yang mubah dan sunah dan seterusnya. Penguasa tetap menjadikan hukum syara’ sebagai standar.

Contoh perkara yang menjadi kewenangan penguasa adalah pengelolaan baitul mal, pengaturan tata ruang, penetapan aturan administrasi kependudukan, ketertiban lalu lintas dan lain sebagainya. Jadi, Islam adalah agama yang lengkap, memberikan perintah dan larangan sekaligus menetapkan sanksi bagi pelanggarnya. Maka, Islam pun juga akan menetapkan apa saja yang diperlukan dalam rangka terlaksananya semua aturan dan menegakkan sanksi bagi setiap pelanggar.

Jadi, aturan dalam Islam dilaksanakan semata sebagai ketaatan kepada Allah SWT Sang Pencipta dan Pengatur segala urusan. Bukan demi menuruti hawa nafsu, bukan dipilih yang disuakai ditinggalkan yang dibenci. Pelaksanaan aturan dan sanksi juga bukan karena kebebasan memilih dan dibenturkan dengan toleransi yang diopinikan Barat, yang mengidentikkan ketaatan dengan pemaksaan dan pemberian sanksi sebagai wujud tidak toleransi dengan perbedaan serta bagian dari pelanggaran hak asasi manusia. Bukan, itu semua lahir dari pemikiran yang salah. Manusia membutuhkan aturan dari AlKhaliq, manusia membutuhkan kontrol dalam setiap perbuatannya, itu semua dilakukan agar manusia tidak hidup dalam kekacauan. Pengambilan aturan yang diserahkan pada hawa nafsu manusia hanya akan membuat kerusakan di muka bumi, karena manusia adalah makhluk yang terbatas.

Namun saat ini, dimana sistem kapitalisme mencengkeram negeri muslim ini, pemikiran sekular merasuki benak kaum muslimin. Kebebasan diagungkan, syariat diabaikan dan dijadikan bahan ejekan. Tidak berpuasa tanpa udzur syar’i dianggap sebagai kebebasan, toleransi terhadap pelanggaran dianggap sebagai sikap mulia, keinginan untuk berpegang teguh pada ketentuan syariat dianggap sebagai bentuk pemaksaan. Dalam sistem kapitalisme ini apa yang dilarang dan diperintahkan Allah dan Rasulullah bebas dipilih, bebas dilanggar, bebas diabaikan, tidak boleh dipaksakan dan bebas dicampakkan. Dan ini memang sudah menjadi konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme, memisahkan aturan agama dengan kehidupan.

Jadi tidak mengherankan jika baru-baru ini, masyarakat dihebohkan dengan razia warung makanan. Terlepas dari cara yang kurang tepat, imbasnya melebar pada semakin kuatnya arus opini liberal. Desakan mencabut perda berbau syariah semakin menguat. Dan lagi-lagi ini wajar terjadi selama negeri ini berpijak pada sistem kapitalisme yang dijaga demokrasi, negeri ini akan terus menginjak syariat selama tidak mengambil sistem Islam secara total.

Maka menjadi sebuah keharusan, menyadarkan umat bahwa kapitalisme dan demokrasi adalah biang keladi tumbuh suburnya pemikiran dan perilaku rusak, sesuka hati mencampakkan aturan ilahi. Menyadarkan bahwa umat Islam seharusnya hidup dalam sistem Islam bukan sistem kufur dan batil.

Karena tidak mungkin hukum Islam tegak, diterapkan dan menjadi rahmatan lil’alamin selama sistem yang diambil adalah kapitalisme. Syariah hanya bisa diterapkan secara kaffah dalam sistem Islam. Islam akan benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin, menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Menghisab Sebelum Dihisab

“DAN (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan,” (Terjemah QS. Al-Jatsiyah : 28)

Seorang sahabat Rasulullah Saw. mengatakan, “Hisablah dirimu sebelum dihisab.”

Pernah melakukannya? Sehari saja? Pernahkah berhasil?

Saya pernah mencoba dan ternyata belum pernah berhasil, karena lupa. Juga kurang teliti!

Akhirnya saya perkecil! Hanya menghitung apa yang saya ucapkan dalam waktu kurang dari sepuluh menit!

Caranya?

Saat berkesempatan memberikan sambutan di suatu acara, saya rekam dari awal hingga akhir. Dari rekaman itu saya memperhatikan, apa-apa yang terucap dan didengar oleh puluhan orang yang hadir. Mana kata dan kalimat yang memotivasi, menambah ilmu, dan mana yang beraura negatif, melemahkan, asesoris bahkan kosong makna sekedar menghidupkan suasana.

Hal serupa bisa kita lakukan terhadap apa-apa yang kita tuliskan pada status-status di fb, postingan di grup dan blog yang terdokumentasi dengan baik, walaupun kita akan kerepotan kalau mau menghisab komen-komen yang tersebar di postingan teman-teman kita. Selain jenis kata yang kita tuliskan, juga untuk melihat perkembangan pemikiran kita, karena sebelum menuliskan, kita lebih leluasa berpikir dibandingkan sebelum bicara.

Kita dianjurkan untuk menghisab diri setiap malam sebelum tidur, secara pribadi saya sangat sulit melakukan itu, apalagi dengan kebiasaan pergi tidur ketika sudah sangat mengantuk atau bahkan tertidur karena kelelahan. Setidaknya, upayakan untuk memaafkan dan mengikhlaskan orang-orang yang dengan sengaja atau tidak, telah menyakiti hati kita.

Apa yang baiknya kita lakukan atas ketidak suksesan menghisab diri sebelum dihisab di akhirat nanti?

Perbanyak istighfar, berpikir sebelum bicara dan bertindak, batalkan prilaku yang jelas-jelas sebuah pembangkangan kepada Allah.

Minta Sama Siapa?

SIANG cerah di Kuala Lumpur, usai menjemput anak-anak latihan karate di sekolah, saya menemani suami menuju area Gombak untuk ujian qiroat. Beberapa menit jalanan macet, sembari memangku bayi, kubuka `whatsapp dan membaca beberapa berita gembira dari sisters di Krakow. Setahun terakhir ini, kami ‘absen kelas skype’ (seusai masa hectic persalinanku dan pindahan appartemen), namun kami melanjutkan berbagi kabar berita melalui grup Whatsapp, Walhamdulillah!

“Sekarang Aneta dan Kasia telah menemukan kekasih hati, keduanya melangsungkan pernikahan dengan brothers yang merupakan pendatang di Poland,” ucapku, di samping sang supir ganteng yang tengah menanti lampu merah.

“Alhamdulillah… barokalloh buat mereka…” ujar Mas Anggana.

“Trus, ingat kan dengan Brother Feroz? Walhamdulillah pas kita pindah ke Kuwait, beliau pulang ke UK, dan sekarang anaknya dua…masya `Allah, ini istrinya lagi senang menceritakan bayi mereka…” sambungku lagi.

“Wah Alhamdulillah, iya, ingat… dulu mereka agak ketakutan dengan threatment di hospital Krakow, sebab selalu perlu penerjemah di rumah sakit, karena tidak bisa berbahasa lokal….” Mas Angga turut senang mendengar kabar sahabat kita tersebut.

“Errrrm, tapi sist Em, dia hamil lagi dengan ‘yang lama’… innalillahi…” Sist Em adalah istri yang di-mut’ah oleh pendatang pemeluk syi’ah. Sewaktu kami berada di Krakow, beliau bercerita bahwa kontrak pernikahannya adalah enam bulan. Lalu suaminya kembali ke tanah air, sementara sist Em telah berbadan dua. Dan kini anaknya seusia keponakanku, berlanjut memiliki ‘adik baru’, setelah sist Em mau dimut’ah kembali.

“Sejak kita di dekatnya pun, hanya bisa menyampaikan. Hasilnya adalah urusan Allah azza wa jalla. Jadi, minta sama Allah saja, semoga Allah ta’ala menolongnya, melimpahkan hidayah dan taufiqNya untuk bertaubat, aamiin…” tanggapan Mas Angga.

Seingatku, beberapa sisters di Krakow telah saling mengingatkan tentang bahaya kawin kontrak ini, tetapi kaum pendatang pemeluk syi’ah yang bergentayangan di Eropa memang cukup banyak. Apalagi jika di awal pertemanan, taktik ‘taqiyyah’ dijalankan, maka kita memang harus lebih waspada dan tak pernah lelah untuk mempelajari al-Islam keseluruhan, berguru pada ahlul quran dan sunnah rasulNya SAW, sehingga pemahaman tidak mudah tercemar. Di wilayah Islam minoritas seperti Poland, muslimin berteman akrab dengan pemeluk syi’ah adalah hal biasa, dan itu terjadi pada sahabat-sahabat muallaf.

Sist Volha, salah satu sisterku nan cerdas sudah pernah berkata, “Aku bisa donk membedakannya, mana brother muslim, dan mana orang yang syi’ah…” ujarnya, dahulu dengan berkedip. Meskipun ia sangat ramah dan berteman dekat dengan para tokoh agama lain, sister kita ini tegas memegang prinsip. Jika seseorang mendekatinya dan mengatakan “I am muslim…”, maka ia belum langsung percaya. Namun ketika ada yang berkata, “I am muslim, of course sunni!” “Nah itu tandanya Islam, sist, hahahaha…” ujarnya.

“Kita minta sama Allah, petunjuk untuk membedakannya…dan minta petunjuk ketika ada teman baru atau berada di lingkungan baru juga…” sambungnya, yang kini tengah berbahagia karena telah bersama suami, dan menetap di Mesir, beliau menikah dengan brother asal Egypt.

Karena Allah Mengetahui Kebutuhan Manusia

2 Tipe Manusia dalam Beribadah, Kita yang Mana?

TIPE 1: Manusia yang selalu mengumumkan hasil ibadahnya, baik itu secara langsung atau tidak langsung; update status, bbm, dan sebagainya.

Tipe 2: Manusia yang menyembunyikan ibadahnya, sama halnya ia menyembunyikan aib-aib yang dimilikinya.
Tetap semuanya kembali kepada niatan awalan kedua tipe, kita sebagai orang lain jangan langsung men-judge kalau tipe yang pertama itu Riya’.

“Jadi orang kok cari perhatian banget, sholat mah sholat aja.”

Atau

“Itu orang kelihatan banget Riya’-nya, tiap hari update hasil tilawah-nya.”

Pun dengan tipe kedua, jangan langsung ber-suudzon kepadanya.

“Bu Tini itu, terlalu pelit. Tidak pernah aku lihat ia bersedekah.”

Astaghifirullah…

Jangan-jangan justru hati kita yang bermasalah. Karena kedua tipe di atas sebenarnya tidak bisa disalahkan, masing-masing memiliki alasannya tersediri.

Pada tipe pertama, bisa jadi dia berniat untuk syiar, memotivasi orang lain supaya mau melakukan kebajikan yang sama. Dan pula untuk tipe kedua, kemungkinan orang yang bersangkutan merasa risih jika ibadahnya harus di-publish.

Karena yang terpenting keduanya beribadah, untuk masalah Riya’ keduanya juga bisa saja berpotensi akan hal itu, jika memang hatinya berharap pujian/sanjungan dari manusia lainnya. Soal Riya’ tertulis dalam firman Allah Q.S Al-baqarah ayat 264, berbunyi: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”

Sungguh dalamnya hati seseorang tidak ada yang mengetahuinya. cukup Allah lah yang mengurus akan hal itu. Tugas kita menjauhkan diri dari suudzon kepada keduanya.

Barisan

TUA-muda, besar-kecil, hitam-putih
Beda budaya, etnis dan bahasa
Beragam model dan warna penutup aurat
Bermacam gaya di antara gerakan shalat
Semua itu tak membuat barisan kami renggang pun putus
Juga tak menjadikan kami enggan untuk meluruskan barisan
Karena kami sama-sama…
Menahan lapar dan haus sejak fajar hingga mahgrib
Menghadap kiblat untuk mengadu pada-Nya
Sibuk menghitung amal dan dosa kami setiap malam di bulan penuh barakah
Memahami bahwa keberadaan kami di negeri ini hanya kaum minoritas
Jadi bagaimana kami sempat membahas kekurangan satu dengan yang lainnya?
Bagaimana mungkin kami mempermasalahkan perbedaan ringan nan sepele?
Bagaimana bisa kami memunculkan tanya yang akan mengusik kesatuan hati karena-Nya?

“Wahai hamba-hamba Allah, hendaknya kalian meluruskan shaff-shaff kalian atau Allah (ta’ala) akan membuat kalian berselisih (yakni menanamkan permusuhan) di antara kalian,” (HR Muslim).

Selasa, 27 September 2016

Gara-gara Ini, Sayyidina ‘Umar Urung Angkat Seorang Pemimpin

DI suatu masa, Sayyidina ‘Umar hendak mengangkat seorang pemimpin di suatu wilayah. Ia kemudian berembug dan meminta pendapat kepada orang-orang terpercaya.

Setelah mendengar dengan seksama pendapat dari sahabat-sahabatnya, ‘Umar urung mengangkat calon pemimpin itu, ia membatalkannya.

“Aku tidak akan pernah mengangkat orang itu untuk selama-lamanya,” ungkap Sayyidina ‘Umar.

Alasannya sangat sederhana, bahkan mungkin bagi kita hal itu hanya remeh temeh.

‘Umar bin Khaththab mengurungkan pengangkatan pemimpin itu, karena laki-laki calon pimpinan tersebut tak pernah mencium anaknya.

“Mana mungkin dia akan menyayangi rakyatnya, jika terhadap anak yang merupakan darah dagingnya saja ia tidak pernah mengungkapkan rasa sayangnya,” tegas ‘Umar.

Hanya karena perhatian sederhana terhadap anggota keluarganya, jadi salah satu alasan yang begitu penting bagi ‘Umar.

Lalu, bagaimana dengan sebagian dari kita yang masih memberikan pembelaan terhadap pemimpin yang kata-katanya kotor dan menjijikkan? Wallahu a’lam.

Aku?

Jika Imam Syafi’i merasa mendapat bencana saat melihat betis gadis yang tak sengaja tersingkap.
Aku malah merasa mendapat nikmat meski tak diungkap.
Jika Umar menginfakkan kebun yang membuatnya ketinggalan shalat ashar.
Aku malah biasa saja berulang kali tertinggal meski azan terdengar.
Jika Urwah bin Zubair tak terganggu salatnya saat pisau bedah mengamputasi kaki.
Aku bahkan terganggu hanya karena nyamuk yang menggigit ibu jari.
Jika Nabi Ibrahim as. sangat menyesal karena pernah berbohong meski seumur hidup hanya tiga kali.
Aku malah santai saja meski jumlah dustaku sudah tak terhitung lagi.
Jika ‘Aisyah menyesali mengatakan “Shafiyah Si Pendek” yang bisa mengubah warna lautan.
Lalu bagaimana dengan gunjingan dari mulutku? Mungkin bisa membuat seluruh samudra menjadi busuk dan pekat kehitaman.
Jika Umar bin Abdul Azis bergetar menahan istrinya berbicara di ruangan yang diterangi pelita minyak yang dibiayai negara.
Aku malah keasyikkan menggunakan fasiltas perusahaan seakan milikku saja.
Jika serpihan pagar kayu rumah orang yang dijadikan tusuk gigi bisa membuat “Sang Kyai” tertahan untuk masuk surga.
Aku malah woles saja menikmati mangga hasil jarahan kebun tetangga.
Sudah begitu … pede pula meminta surga.
Astaghfirullah!
Memang hari ini dunialah yang nyata dan akhirat hanya cerita.
Namun sesudah mati, akhiratlah yang nyata dan dunia tinggal cerita.
Ya, Allah ampuni hamba!

Yang Berat Itu Menjaga Istiqomah

DALAM menjalankan amal kebaikan,yang terberat itu adalah menjaga istiqomah.Memulai suatu kebaikan itu juga berat namun menjaga agar apa yang sudah dimulai tetap istiqomah tentunya lebih berat lagi.

Bagi yang belum terbiasa mengerjakan sholat fardhu berjamaah dimasjid,untuk memulainya sangatlah berat. Namun menjaga istiqomah dari apa yang sudah dimulai, yakni sholat fardhu berjamaah dimasjid tentunya lebih berat lagi.

Bangun di sepertiga malam lalu mengerjakan sholat tahajud,memulainya tentu saja tidaklah ringan. Namun lebih tidak ringan lagi adalah menjaga agar bangun disepertiga malam lalu mengerjakan sholat tahajudnya tetap istiqomah.

Sama juga ketika kita menjalankan ibadah puasa. Menjaga mulut, mata, hidung, telinga, tangan, kaki dan hati agar tidak melakukan maksiat kepada Allah, itu beratnya minta ampun. Namun lebih berat lagi adalah tetap istiqomah menjaga mulut, mata, telinga, hidung, tangan kaki dan hati agar tidak maksiat meskipun bulan sudah tidak lagi Ramadhan.

Untuk memulai suatu kebaikan,setelah ilmu dibutuhkan kemauan yang kuat untuk menjalankan. Sedangkan agar tetap istiqomah di jalan kebaikan di samping ilmu dan kemauan dibutuhkan kesabaran dalam menjalankan kebaikan tersebut.

Karena, pastilah setiap orang yang menempuh jalan kebaikan tidak dapat dihindari adanya godaan yang merintangi jalan yang dilaluinya. Nah, tidak adanya kesabaran inilah yang kerap menjadikan para penempuh jalan kebenaran tanggal istiqomahnya dan akhirnya banting setir belok haluan.

Karena itulah ketika Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah,katakan kepadaku suatu perkataan tentang Islam, yang tidak mungkin aku tanyakan kepada siapa pun selain kepadamu.”

Rasulullah menjawab, “Katakan : ‘Aku beriman kepada Allah, lalu istiqomahlah’,” (HR. Muslim).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Minggu, 25 September 2016

Doa Orang Ini Pasti Diijabah Allah

ALKISAH dalam suatu peperangan yang sengit, kaum muslimin terdesak. Mereka berada dalam suasana genting, dikepung musuh. Tak berdaya, bingung, dan hampir saja menyerah.

Namun kemudian Allah Ta’ala memberi ilham ingatan pada salah satu mujahid yang turut serta dalam peperangan tersebut. Ia mengingat bahwa Rasulullah pernah menyebut sebuah nama yang jika ia berdoa, niscaya doanya pasti diijabah.

Maka, mujahid ini pun mencari salah satu sahabat itu. Ia hendak memintanya memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala. Salah satu lafal dalam doa yang dipanjatkan itu adalah, “Aku minta bahu-bahu mereka.” Lantas, apa yang kemudian terjadi?

Abdullah Azzam menjelaskannya dalam “Tarbiyah Jihadiyah”.

“Belum sampai tangannya turun ke bumi, musuh mereka telah mengalami kekalahan.” Inilah sahabat yang mulia. Sahabat yang namanya begitu harum, disebut-sebut dalam majelis para malaikat.

Inilah sahabat yang disebutkan dalam salah satu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

“Berapa banyak orang kusut rambutnya, berdebu wajahnya, berpakaian dua kain usang, serta tidak dihiraukan manusia.” Akan tetapi, lanjut Nabi, “Kalau dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkan sumpahnya itu.”

Pungkas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana termaktub dalam “Shahih al-Jami’ as-Shaghir”, “Di antara mereka adalah Bara’ bin Malik.”

Abdullah bin Azzam menjelaskan, “Mereka inilah orang yang tertolak dari semua pintu rumah karena rendah statusnya dalam pandangan orang.”

Padahal, “orang-orang semisal itulah yang menyelamatkan manusia dari kehancuran dan menjaga mereka dari mala petaka dan siksa Ilahi.”

Kemuliaan bukan terletak pada harta, rupa ataupun jabatan. Kemuliaan adanya dalam hati sebab kualitas iman dan taqwa seseorang. Karenanya, semoga Allah Ta’ala kurniakan sifat rendah hati kepada kita, agar tidak memandang remeh kepada siapa pun, apalagi mengolok-oloknya. Sebab, ia yang diremehkan atau diolok-olok bisa jadi lebih mulia dari kita.

Inilah Kebahagiaan

AL Qur’an adalah firman Allah; Tuhannya Ibrahim, Musa, Isa, para Anbiya, yang suci dari dosa.

Al Qur’an adalah Kalamullah, diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah…
Laki-laki mulia tanpa cela, lisannya terpuji, akhlaq-nya dikagumi, oleh kawan dan oposisi.

Namanya tersurat, di Injil dan Taurat, diyakini Ahli Kitab
shallallahu alaihi wasallam …

Al Qur’an adalah obat jiwa yang gelisah, penenang jiwa yang kalut.
Ia penerang kalbu yang remang, wajah yang murung.
Keburukan di dalam dada, Al Qur’an penyembuhnya.
Dengan izinNya, Allah, Rabb Yang Maha Sempurna.

Al Qur’an berdimensi fisika, aerodinamika, dan matematika.
Ia adalah geologi, biologi, dan biografi.
Al Qur’an adalah sejarah manusia dan alam semesta.
Dengannya peradaban menjadi mulia, tanpanya hanyalah kumpulan ternak saja.

Al Qur’an adalah hujan bagi tanah yang tandus, gizi bagi nurani tak terurus.
Ia penawar hati yang dengki, rantai bagi lisan pencaci.
Ia penyeru sedekah, musuh para penghibah.
Al Qur’an adalah pengasah firasat dan intelektual, memberi ilmu dan hikmah yang kekal.
Ia pelurus kabar dusta, dan mendustakan si pendusta.

Al Qur’an membuka cakrawala,
dan tabir dunia dan alam setelahnya.
Ia seperti madu, di atas luka menganga.
Ia penyegar bagi pikiran yang lelah, motivator akal yang resah.

Ia harta bagi penghafalnya, haluan bagi pengamalnya.
Ia asa di dada bocah belia, remaja, dewasa, dan tua renta, di lintas benua.

Al Qur’an menorehkan senyum di wajah-wajah sendu,
meneteskan air mata di jiwa yang khusyu.
Al Qur’an adalah buku manual, ‘hidup senang mati tenang’.
Ia memuliakan yang hina, menghinakan yang ingkar.
Al Qur’an adalah masa lalu, masa sekarang, dan masa datang.

Memusuhinya pasti dimusuhi, mencelanya pasti tercela, menggugatnya pasti digugat.
Meragukannya pasti binasa, merubahnya pasti sengsara, meninggalkannya pasti celaka.
Janganlah seperti mereka, penyembah berhala, dan yang terkutuk menjadi babi dan kera.
Menuduhnya sihir, ia telah gila.

Membacanya, waktu menjadi sempurna, meninggalkannnya, usia tercecer sia-sia.
Lantunannya merdu, sempurna, tanpa cela, siapapun lisannya.
Isinya sama, dari Arabia hingga ujung dunia.

Al Qur’an adalah syafaat di Hari Kiamat, bagi siapa yang diizinkanNya.
Ia adalah kebahagiaan hakiki, melebihi televisi, torehan fiksi, gemerlap atraksi.
Ia adalah kitab di rak-rak buku kita, menunggu dibuka, dibaca, diamalkannya oleh jiwa raga.
Oleh saya, Anda, anak cucu kita semua.

Tak mengapa jika ia telah berdebu, masih ada waktu, saudaraku.
Sebelum nafas di kerongkongan, kemudian ditanyakan, “Siapa yang dapat menyembuhkan?”

Wahai Ummat Muhammad!
Wahai Ahli Kiblat!
Wahai Ahlus Sunnah!
Wahai calon penghuni kubur!

Itulah Al Qur’an! Sebab kemuliaanmu… atau kehinaanmu

Kisah Bocah Buta dan Papan Tulisnya

ALKISAH seorang bocah tengah duduk bersila di depan pintu masuk sebuah supermarket. Ia nampaknya tak mampu untuk melihat–buta–hanya duduk terpaku semata. Mengharap iba dan belas kasihan manusia. Disampingnya ia hanya ditemani kaleng kosong dan sebuah papan bertuliskan suatu kalimat.

Lama ia duduk di sana, menunggu kedermawanan dari setiap manusia yang lalu lalang melewatinya. Namun kaleng miliknya tak juga terisi penuh, meskipun ia memegang papan bertuliskan, “Aku buta, kasihanilah aku.”

Kemudian lewatlah seorang pria di depan sang bocah, ia merogoh saku celananya. Mengambil beberapa keping recehan, dan memasukannya ke dalam botol kosong milik sang bocah.

Sejenak, Pria itu mengamati papan yang sedari tadi terus menerus dipegang si bocah. Pria itu berpikir sesaat, lalu meminta sang bocah untuk meminjamkan papan miliknya. Ia menuliskan sesuatu dan berlalu begitu saja.

Kurang dari satu jam semenjak pria itu meninggalkan sang bocah, kaleng kosong yang sedari tadi melompong—kini mulai penuh terisi. Bocah itu tercekat, gembira dengan rezeki deras mengalir menghampirinya.

Beberapa waktu berselang, pria itu kembali menemui si bocah sambil menyapanya. Si bocah begitu bergembira dan berterima kasih pada pria itu, lalu menanyakan apa yang telah ditulisnya di papan miliknya.

“Hari yang sangat indah, namun aku tak dapat melihatnya. Aku hanya ingin mengungkapkan betapa beruntungnya orang-orang yang masih mampu melihat dunia ini,” itu yang aku tuliskan jawab pria itu.

Ia kemudian melanjutkan, “Aku tak mau para pengunjung memberikan uangnya karena iba padamu. Lebih dari itu, aku ingin mereka berbagi karena berterima kasih telah diingatkan untuk selalu bersyukur,” pungkas pria itu.

Jikalau Hati Sudah Mendengki

BENAR dan salah itu seharusnya jelas. Namun hati terkadang ragu, hendak ke mana mau berpihak. Keraguan yang muncul, biasanya karena kita kesulitan membedakan; mana yang benar dan mana yang salah?

Adalah berbahaya jika sentimen pribadi sudah menodai fungsi hati untuk menentukan keberpihakannya. Ketika satu dua kali, seseorang tak tunduk pada apa yang kita sepakati. Saat tiga empat kali, ia tak melihat dari sudut kita memandang. Lantas beberapa kali situasi membuatnya buruk di mata kita. Penilaian pun selesai; segala hal yang ia sampaikan mesti salah!

Pasti ada titik untuk dipermasalahkan! Mengabaikan nilai-nilai kebenaran atau kebaikan, yang coba dibagikannya pada orang banyak. Ketika yang lain bisa memahami dan mengambil hal positif di balik apa yang ia sampaikan, maka hati kita tetap membantahnya!

“Tidak! Dia salah! Tidak begitu seharusnya! Apa yang kukritiki harus ia ikuti! Jika tidak, ia bersalah! Jika ia menolak saranku, maka ia antikritik! Hanya sibuk pada pujian dan komentar bagus! Ya, dia begitu orangnya!” Lantas bahak tawa ala Rahwana membahana di hati kita.

Ya. Segumpal darah ini tanpa sadar telah diperciki dengki. Membuat apa pun yang dilakukan orang yang kita dengki, selalu salah bahkan berperan sebagai penjahat di mata kita. Camkan; se-la-lu salah! Tak pernah benar.

Otak dan hati sudah bersinergi. Menyimpan nama orang tersebut untuk ditemukan kesalahannya! Ketika kebanyakan orang tidak menyadari, atau tak mempermasalahkan apa yang memang seharusnya tak perlu diangkat ke permukaan, kita … Ya, kita … Menjadi orang yang paling jeliiiiii sekali menemukan kesalahannya, bravo! Tawa Rahwana pun kembali menggetarkan singgasana hati kita.

Kita sibuk mempermainkan logika dan memutarbalikkan kata, hanya untuk memenuhi satu hal yang sudah tersetel otomatis; membantah apa pun yang keluar dari dirinya. Selama ia tak berpikir seperti kita, maka ia perlu dilawan. Titik.

Eh … Apa pula yang dilakukannya tiba-tiba? Kenapa ia melunak? Lho, kenapa ia malah mendekati kita dengan santun? Halahhhhh … Taktik lama! Lihat! Kini ia tengah menjilat! Agar tak lagi ia kita serang dengan komentar-komentar pedas, sadis, yang kita bungkus dengan alibi; kritik dan saran membangun. Padahal sejatinya lebih kentara menjatuhkan.

Seseorang yang namanya sudah kadung kita tandai untuk didengki, membuat hati tak berfungsi lagi dalam membedakan mana yang haq dan bathil. Bahkan kalaupun ia menyampaikan, “Di sana ada jurang!”

Walaupun sebenarnya hati menjerit, “Sepertinya apa yang ia katakan benar.” Namun tersebab dengki sudah terlanjur merajai diri, kita memutuskan untuk terus berjalan ke jalur yang sudah diperingatkannya sebagai jurang. Terus berjalan, hingga benar, nampak jurang curam menganga di hadapan kita. Saat hendak membalikkan badan untuk beranjak, kita malu. Lantas menunggunya untuk pergi lebih dulu, agar ia tak sampai melihat kita berbalik badan, dan sedang menjauh dari tepi jurang. Gengsilah! Masa ia harus terbukti benar sih?

Senin, 19 September 2016

Pengalaman Berharga di Malaysia

SAUDARA setanah air kita banyak merantau ke negeri jiran ini, baik dengan keahlian professional, akademisi, maupun yang bekerja sebagai pembantu rumah dan buruh pabrik. Semua aktivitas mengais rezeki ditekuni sebagai rangka menjalani takdirNya, ada kalanya ketidak-tahuan atau halmiskomunikasi dapat membuahkan problematika yang tak ringan penyelesaiannya di tanah rantau. Sedikit kisah dalam rubrik khas Ramadhan kali ini, semoga dapat menjadi cambuk motivasi dan bumbu hikmah serta semangat berbagi bagi kita semua.

Dengan melindungi privasi serta menjaga aib saudara kita, maka kisah ini penulis rangkum menggunakan ‘gaya aku’.

***

Sebenarnya aku berumur lima belas tahun, namun ‘katanya kalau bekerja di luar negeri’, harus sudah berumur 21 tahun, maka di biodataku tertulis umur 21 tahun. Bukan membuat tipuan, kata pamanku, kalau tak begitu, aku tidak bisa diberangkatkan bekerja. Aku berangkat melalui jalur pengurusan tenaga kerja di kota, sementara dusun kami berada di atas bukit, daerah Jawa.

Sebanyak utang yang harus ditanggung orang tuaku, ternyata aku cuma bisa bertahan tiga bulan di negeri jiran. Tanpa bekal tabungan sepeser pun. Akan tetapi, orang tuaku tidak marah, sebab ternyata agent alias calo yang membawaku sudah menipu kami. Ia mengantongi ribuan Ringgit Malaysia yang didapat dari majikanku, yang seharusnya separuh dari uang itu adalah gaji buatku.

Untung belum dapat diraih, majikanku keturunan India dan ketat dalam urusan jatah makanan di dapur. Majikan yang lelaki begitu sangar. Dan keluarga mereka sering berkata kasar.

Aku berjumpa bapak dan ibu WNI yang mengajarkan banyak ketrampilan setelah kejadian pahit kualami. Selama dua bulan awal bekerja, jika tak ada nyonya, tuan lebih ramah kepadaku. Aku sudah merasa sangat tidak nyaman.

Hari itu jelang siang, tuan mengejutkanku di dapur, merangkulku dari belakang sampai aku sulit bernafas. Spontan, aku meronta, dan berlari keluar rumah dengan menggunakan sepotong baju di badan saja. Tadinya dia sempat mengejar, menimbulkan sedikit suara berisik di rumah tersebut. Aku sangat takut, dan mengikuti saja kemana langkah kaki berlari.

Di pinggir jalan raya kota Melaka, seorang supir taksi memberi tumpangan, beliau mendengarkan ceritaku sambil ikut menangis, lalu mengantarkanku ke tempat tetangganya yang orang Indonesia. Aku sangat malu, tetapi amat bersyukur karena telah selamat dari kekejian majikanku.

Beberapa hari di sana, aku diajak bertenang diri dengan sholat dan mengaji, diajari memasak dan membuat sedikit pernak-pernik dari pita. Lalu pak supir taksi penolong itu membawaku ke penampungan/ shelter di KBRI, supaya ada pertolongan pihak pemerintah untuk kepulanganku. Sungguh supir taksi yang baik hati, aku tidak perlu membayar ongkos katanya, padahal itu adalah perjalanan luar kota. Aku sangat terharu.

Aku tidak menyangka bahwa lebih banyak lagi teman di penampungan yang pengalamannya jauh lebih berat dari hal yang kualami, dan mujurnya aku hanya tiga bulan berada di rantau. Sedangkan banyak sahabat di penampungan yang tidak bisa pulang ke tanah air selama bekerja bertahun-tahun.

Dengan pertolongan pihak KBRI untuk menghubungi keluarga, aku kembali pulang, orang tua menjemputku di bandara tanah air. Alhamdulillah, meski tak ada uang sepeser pun, aku dapat mempraktekkan beberapa ‘pelajaran’ memasak dan merangkai pita-pita yang diajarkan sang ibu penolong. Kini aku membantu kerja di swalayan atas ajakan kakak sepupu di ibu kota Jakarta. Sesekali aku menerima tempahan cemilan dari teman-teman karyawan swalayan dan dapat membantu keperluan keluarga sehari-hari.

Satu pesan ustadzah yang berceramah di penampungan, menjadi peganganku saat berada di tanah air, “Bahwa ilmu yang berkah adalah ilmu yang bermanfaat, diamalkan dengan niat karena Allah, meskipun ‘di mata manusia’ itu hanya secuil ilmu…”

Walau telah berlalu, tiga bulan pengalaman berharga itu selalu menjadi ingatanku, harta yang hilang bisa dicari lagi, Alhamdulillah bukan harga diri yang melayang.

Doa Orang Ini Pasti Diijabah Allah

ALKISAH dalam suatu peperangan yang sengit, kaum muslimin terdesak. Mereka berada dalam suasana genting, dikepung musuh. Tak berdaya, bingung, dan hampir saja menyerah.

Namun kemudian Allah Ta’ala memberi ilham ingatan pada salah satu mujahid yang turut serta dalam peperangan tersebut. Ia mengingat bahwa Rasulullah pernah menyebut sebuah nama yang jika ia berdoa, niscaya doanya pasti diijabah.

Maka, mujahid ini pun mencari salah satu sahabat itu. Ia hendak memintanya memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala. Salah satu lafal dalam doa yang dipanjatkan itu adalah, “Aku minta bahu-bahu mereka.” Lantas, apa yang kemudian terjadi?

Abdullah Azzam menjelaskannya dalam “Tarbiyah Jihadiyah”.

“Belum sampai tangannya turun ke bumi, musuh mereka telah mengalami kekalahan.” Inilah sahabat yang mulia. Sahabat yang namanya begitu harum, disebut-sebut dalam majelis para malaikat.

Inilah sahabat yang disebutkan dalam salah satu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

“Berapa banyak orang kusut rambutnya, berdebu wajahnya, berpakaian dua kain usang, serta tidak dihiraukan manusia.” Akan tetapi, lanjut Nabi, “Kalau dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkan sumpahnya itu.”

Pungkas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana termaktub dalam “Shahih al-Jami’ as-Shaghir”, “Di antara mereka adalah Bara’ bin Malik.”

Abdullah bin Azzam menjelaskan, “Mereka inilah orang yang tertolak dari semua pintu rumah karena rendah statusnya dalam pandangan orang.”

Padahal, “orang-orang semisal itulah yang menyelamatkan manusia dari kehancuran dan menjaga mereka dari mala petaka dan siksa Ilahi.”

Kemuliaan bukan terletak pada harta, rupa ataupun jabatan. Kemuliaan adanya dalam hati sebab kualitas iman dan taqwa seseorang. Karenanya, semoga Allah Ta’ala kurniakan sifat rendah hati kepada kita, agar tidak memandang remeh kepada siapa pun, apalagi mengolok-oloknya. Sebab, ia yang diremehkan atau diolok-olok bisa jadi lebih mulia dari kita.

Mulailah Cintamu Setelah Menikah

BEBERAPA hari lalu terlibat chatting dengan salah satu teman dari dunia maya. Usai saya bertanya-tanya, dia pun konfirmasi, In Syaa Allah akan menikah dalam waktu dekat.

“Gimana perasaanmu? Sudah mantap?” tanya saya.

Dia jawab, “Bismillah, Wi. Lillah.”

Saya kembali mengetik balasan, “Iya. Bismillah aja. Kalaupun ada keraguan, kemungkinan besar itu datangnya dari setan.”

Seperti yang kita ketahui, menikah itu menyempurnakan separuh agama. Jadi, kalau seseorang sudah menikah, maka dia ‘tinggal’ menyempurnakan separuh agamanya lagi. That’s why, si setan bakal berusaha keras supaya yang separuhnya tadi tidak mudah terpenuhi begitu saja. Dibuatlah berbagai macam perasaan khawatir ketika seseorang berniat untuk menikah. Ya takut miskinlah, takut nggak bisa bebaslah, takut salah milih pasanganlah, dan berbagai kecemasan lainnya.

Hingga tibalah kami pada sebuah statement dari teman saya ini. “Jujur Wi, kalau masalah cinta mah, aku belum ada cinta sama dia.”

Saya segera menyahut, “Ya bagus. Alhamdulillah. Memang sebaiknya begitu.”

Ingatan saya kembali pada perkataan Oki Setiana Dewi, seminggu menjelang pernikahannya 2014 lalu. Dalam sebuah seminar muslimah yang sesekali membahas tentang pernikahan, beliau berbagi pengalaman serta perasaannya menjelang hari bahagia.

“Kalau ada yang bertanya apakah saya mencintai calon suami, saya jawab: cinta belum. Tertarik iya, makanya mau melanjutkan ke pernikahan,” begitu katanya kurang lebih.

Hingga hari ini—dan semoga seterusnya, saya sangat menggarisbawahi statement OSD tersebut. Sepakatnya berlipat-lipat. Ditambah lagi dengan ketegasan Oki dalam menyikapi lelaki yang datang untuk mengenalnya lebih jauh.

“Kalau benar serius, silakan datang ke rumah. Temui ayah saya,” tandas ibu dua anak—saat itu, pada lelaki yang kini menjadi suaminya.

Aduhai perempuan itu memang terkadang lemah sekali. Apalagi kalau sudah urusan perasaan. Maka menyerahkan keputusan kepada wali kita, adalah salah satu cara terbaik untuk menghindarkan diri dari langkah yang salah. Karena kemungkinan besar, laki-laki yang berani menemui bapak dari perempuan yang diinginkannya menjadi ibu bagi anak-anaknya kelak, bukan laki-laki sembarangan. Kalaupun ada pria yang bermain-main usai mendatangi keluarga seorang perempuan, wah pria ini pasti ‘bermasalah’. Minimal bermasalah dalam mengatasi dirinya sendiri.

Hari ini juga ada yang chatting nanyain perihal ta’aruf. Apa hukumnya? Gimana prosesnya? Masih takut nggak dapet jodoh kalo nggak pacaran, dan sebagainya.

Hmmm … ta’aruf hanya bisa dilakukan oleh mereka yang serius dan siap untuk menikah! Catat tuh! Jadi bokis banget kalo ada yang ngajakin ta’aruf, tapi baru siap nikahnya tahun depan atau tiga tahun lagi. Hiyaaaaa, yaudah cari pasangan hidupnya juga nggak usah dicicil dari sekarang kaliii. Entaran aja kalau udah siap nikah.

Duh, kalau yang nggak pacaran aja, kadang masih bisa ngerasa berbunga-bunga, cemburu sampai patah hati, padahal nggak ada status apa-apa. Entah gimana dengan yang masih bersedia pacaran.

Ini udah sering lho kejadian. Bertahun-tahun pacarannya sama siapa. Ehhh yang dinikahin mah siapa.

Nihya, Saudariku …

Sekalipun kamu bisa menjaga fisik dari hal-hal yang mendekati zina, lantas bagaimana kabar hatimu? Apakah dia masih sebersih dulu, sebelum datangnya doi yang mulai membuat hatimu diselipi harap, kemudian namanya mulai tersebut dalam doamu?

Jadi, Saudariku …
Bersabarlah. Jangan malu jika saat ini kau tak mudah jatuh cinta bahkan tak sedang cinta pada lelaki non mahram manapun. Tetaplah pada keputusanmu. Untuk memulai dan menumbuhkan cinta hanya pada dia yang kelak menghalalkanmu dengan sebuah aqad.

“Saya terima nikahnya …” dan beberapa menit kemudian—jika tidak diulang—para saksi pun berseru, “Saaaaahhhh!”

Ibu yang Tertimbun bersama Bayinya

TIGA hari lalu saya bertemu dengan konsumen toko yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Ia pun bercerita tentang musibah longsor di sana. Salah satu cerita yang membuat saya termangu adalah tentang perjuangan seorang ibu.

Ibu tersebut ditemukan tim penyelamat dalam keadaan hidup. Ia selamat setelah 12 jam tertimbun tanah! Qadarullah, penyebab ibu itu selamat adalah wajahnya ketika tertimbun tertutupi oleh sesosok tubuh. Ya, tubuh manusia yang lain. Maka jasad yang sudah jadi mayat itulah yang menutupi wajah ibu tersebut, membuat dirinya masih bisa bernapas belasan jam.

Sekilas kita akan mudah bersyukur mendengarnya. Membayangkan selamat dari bencana yang nyaris meregangkan nyawa, seketika memanjatkan syukur bahagia. Allahu Akbar!

Tapi tidak demikian dengan ibu tersebut! Apa pasal? Adakah yang salah?

Setelah dievakuasi, cerita konsumen saya, sang ibu itu terus terdiam. Ya, terdiam dengan pandangan kosong. Sebuah kesedihan yang amat mendalam. Belakangan diketahui bahwa sosok mayat yang ‘menolongnya’ di dalam reruntuhan tanah tidak lain jasad anaknya yang masih berusia 14 bulan! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un….

Pembaca, tak bisa dibayangkan bagaimana perasaan sang ibu saat itu. Ia harus berada di dalam tanah sambil merasakan dinginnya jasad sang bayi tercinta. Merasakan langsung perpisahan dengan jalan yang Allah tentukan di bulan suci Ramadhan: di depan wajahnya selama 12 jam! Laa hawla wala quwwata illa billah….

Ya Allah, kuatkan kesabaran mereka yang tertimpa musibah. Berilah ganti yang lebih baik dari musibah dan ujian yang Engkau berikan kepada mereka. Jauhi kami dari musibah yang tak sanggup kami memikulnya.

Sebagai penutup, saya ingin mengajak kita semua menoleh sesosok tercinta di tepi ranjang. Tengok ia yang tengah tertidur pulas di malam Ramadhan sepertiga akhir ini. Kepada kita yang memiliki anak seusia anak (atau lebih) dari ibu tersebut di atas, mari renungi dalam-dalam. Bersyukurlah dengan ‘kenakalannya’ bila dibandingkan harus merasakan ‘diam’-nya jasad sang anak karena tak lagi bernyawa.

Di Jalan Para Pahlawan

Kelangsungan dan kenikmatan hidup yang kita rasakan sampai hari ini adalah anugerah Allah melalui perjuangan dan pengorbanan orang-orang sebelum kita. Dalam skala keluarga, kita temukan perjuangan dan pengorbanan seorang ibu. Ibu dengan susah payah mengandung anaknya selama sembilan bulan, mempertaruhkan nyawanya di detik-detik kelahiran, lalu dengan kasih sayang dan kesabaran merawat dan membesarkan anaknya. Dalam skala bangsa, kita temukan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan. Mereka berjuang habis-habisan dan mengorbankan semua yang mereka miliki; waktu, harta, pikiran, dan tenaga untuk merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah. Meski mereka sendiri tidak menikmati kemerdekaan yang mereka perjuangkan.

Kita selalu merasa berhutang budi dan menaruh rasa kagum kepada mereka; yang berjuang dan berkorban demi kebahagiaan orang lain. Karena itulah kita berkenan memberikan gelar pahlawan kepada mereka. Pahlawan; yang terdiri dari kata pahala dan wan. Pahlawan; orang-orang yang memburu dan mendapatkan banyak pahala karena usahanya.

Lalu dorongan apa yang membuat mereka rela berjuang dan berkorban demi orang lain? Bukankah hidup sendiri juga sudah begitu melelahkan? Bukankah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri pun belum tentu terpuaskan? Apalagi jika harus melalui episode hidup yang penuh air mata dan darah?

Apakah mereka ingin punya nama baik dan dihormati? Atau apakah mereka ingin dipuja dan dikagumi oleh manusia? Nyatanya, ibu tak pernah mengharap balas jasa dari anak-anaknya. Para pahlawan sejati tak pernah diminta disebut atau diberi gelar pahlawan, atau jasadnya dikuburkan di makam pahlawan, atau namanya tertulis di dalam buku sejarah. Tidak! Bukan itu yang mereka cari.

Jawabannya adalah perpaduan yang harmonis antara keyakinan, harapan, dan cinta. Seorang ibu yakin bahwa melahirkan dan mendidik generasi adalah bagian dari cinta dan pengabdiaannya kepada Tuhan. Lahirnya generasi baru dari darah dagingnya akan membawa harapan hidup lebih baik bagi keluarganya maupun bangsa.

Para pahlawan sejati yakin bahwa untuk merubah wajah negerinya lebih baik, jalannya hanyalah berjuang dan berkorban. Jalan kepahlawanan itu adalah panggilan jiwa dan undangan menuju surga yang senantiasa bertalu-talu dalam jiwa mereka. Bayangan kenikmatan abadi surga dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah telah mengikis habis kenyamanan semu dunia. Kecintaan pada Allah yang turun menjadi rasa kasih sayang pada sesama telah mengusir jauh ego diri. Maka mereka maju menjemput takdir sejarahnya, membawa panji kebenaran dan melawan kejahatan dengan segenap jiwa; dengan semua yang mereka punya.

Mereka telah menanam, dan kita menuai. Mereka telah membangun, dan kita berteduh. Para pahlawan tak cukup hanya dikagumi, dan mereka pun memang tak berniat dikagumi. Yang mereka mau adalah jalan mereka diikuti dan diteladani. Dan Chairil Anwar mewakili mereka dalam bait puisi Karawang Bekasi:

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Mereka telah membuka jalan, akankah kita mulai melangkah? Mereka telah tinggalkan jejak, tergerakkah kita untuk mengikuti? Mereka telah mencatatkan nama mereka dalam sejarah dengan tinta emas, maukah kita menuliskan nama kita? Apakah kau calon pahlawan itu? Jika tidak, biarlah aku berseru pada diriku sendiri, jadilah pahlawan itu!

Memaknai Esensi Zakat (Bag-2)

Zakat secara bahasa bermakna suci. Harta yang dizakati sesungguhnya dalam rangka proses penyucian atau pembersihan. Tak mengeluarkan sebagian harta yang menjadi hak orang lain ibarat tak membuang kotoran dalam perut bagi orang yang sudah saatnya buang air besar. Sebagian kecil harta tersebut selayak kotoran yang bisa jadi menodai keberkahan seluruh harta benda, menjalarkan penyakit tamak, atau menimbulkan keresahan dirinya sendiri dan orang lain.

Zakat, juga infak, sedekah, dan sejenisnya merupakan ibadah yang utama dalam Islam, terlebih dilaksanakan pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Di samping pahala yang berlipat, zakat menjadi sarana penguat usaha hamba mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dan mempererat tali solidaritas terhadap sesama. Banyak orang yang menjadikan bulan ini sebagai  bulan zakat dan sedekah, kendati pun tak semestinya zakat dan sedekah selalu dikaitkan dengan Ramadhan. Zakat adalah kewajiban yang bisa dilakukan pada bulan apa saja ketika harta sudah memenuhi nisab atau jumlah wajib zakat.

Profesor KH Quraish Shihab berpendapat, ada fakta sangat menarik mempelajari ketelitian redaksi Al-Qur’an, menyangkut kewajiban berzakat. Kewajiban tersebut selalu digambarkan dengan kata atu – suatu kata yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna. Makna-maknanya antara lain istiqamah (bersikap jujur dan konsekuen), cepat, pelaksanaan secara amat sempurna, memudahkan jalan, mengantar kepada, seorang agung lagi bijaksana, dan lain-lain.

Jika makna-makna yang dikandung oleh kata tersebut dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban tersebut. Bahasa Al-Qur’an di atas, menurut beliau, menuntut agar:

Pertama, dikeluarkan dengan sikap istiqamah sehingga tidak terjadi kecurangan – baik dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.

Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluarannya, dalam arti tidak menunda-nunda hingga waktunya berlalu.

Ketiga, mempermudah jalan penerimaannya, bahkan kalau dapat mengantarkannya kepada yang berhak sehingga tidak terjadi semacam pameran kemiskinan dan tidak pula menghilangkan air muka. Keempat, mereka yang melakukan petunjuk-petunjuk ini adalah seorang yang agung lagi bijaksana.

Kalau makna-makna di atas diperhatikan dan dihayati dalam melaksanakan kewajiban ini, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakatt dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda pelaku kewajiban ini.

Kesucian jiwa melahirkan ketenangan batin, bukan hanya bagi penerima, tetapi juga bagi pemberinya. Karena kedengkian dan iri hati dapat tumbuh pada saat seorang tak berpunya melihat seseorang yang berkecukupan namun enggan mengulurkan bantuan. Kedengkian ini melahirkan keresahan bagi kedua belah pihak.

Pengembangan harta akibat zakat, bukan hanya ditinjau dari aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah/zakat (QS 2: 276). Zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yakni dengan adanya ketenangan batin dari si pemberi, ia akan dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya. Di samping itu, pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru dan, terutama, daya produksi dari para penerima tersebut.

Memaknai Esensi Zakat (Bag-1)

Karunia Allah yang dilimpahkan kepada makhluk luar biasa besar. Meski sering tak disadari, anugerah itu meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari yang fisik sampai nonfisik, mulai dari harta benda hingga kenikmatan yang tak kasat mata seperti kewarasan akal sehat, kesehatan, hingga iman seseorang. Tentang karunia berupa kekayaan, Allah melalui ajaran Islam mengajarkan manusia untuk tidak hanya menerima tapi juga memberi, tak hanya memperoleh tapi juga membagikannya. Di sinilah anjuran berzakat, berinfak, dan bersedekah menjadi relevan dalam agama.

Karena begitu pentingnya zakat, Islam sampai menjadikannya sebagai salah satu pilar pokok dalam berislam. Setiap umat Islam yang mampu wajib mengeluarkan zakat sebagai bagian dari pelaksanaan rukun Islam yang ketiga. Artinya, dalam urutan rukun Islam, zakat menempati deret rukun setelah shalat, ibadah yang paling ditekankan dalam Islam karena menjadi cermin dari praktik paling konkret penghambaan kepada Tuhan.

Al-Qur’an pun sering menggandengkan perintah zakat setelah perintah. Sedikitnya ada 24 tempat ayat Al-Qur’an menyebut shalat dan zakat secara beriringan. Contohnya sebagai berikut:

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 110)

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمْ رَٰكِعُونَ

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al-Ma’idah [5]: 55)

Hal ini menandakan bahwa shalat sebagai ibadah spesial seorang hamba dengan Allah tapi bisa terlepas dari keharusan untuk peduli pada kondisi masyarakat di sekitarnya. Dengan bahasa lain, umat Islam yang baik adalah mereka yang senantiasa memposisikan secara beriringan antara ibadah individual dan ibadah sosial.

Sayangnya, rata-rata tingkat kesadaran untuk berzakat seringkali lebih rendah daripada kesadaran untuk menunaikan shalat. Barangkali karena ada anggapan “hasil kerja sendiri” dari harta kita yang membuat zakat terasa berat. Belum lagi ditambah keinginan untuk menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya. Tertanam sebuah pikiran bahwa jika harta semakin banyak, maka semakin mudah dan enaklah kita menjalani hidup ini. Pandangan inilah yang kerap melengahkan banyak orang bahwa sebenarnya di dalam kelebihan harta kita ada hak orang lain yang sedang membutuhkan.

Jika demikian, orang-orang yang seharusnya berzakat namun tak menunaikan kewajibannya sama halnya memakan hak orang lain. Dalam konteks ini, lantas apa bedanya mereka dengan koruptor atau pencuri?