Minggu, 18 September 2016

Menyikapi Perkara Jodoh dan Keturunan

BEBERAPA bulan lalu, saya menemukan sebuah gambar motivasi yang kata-katanya sukses menyentak lamunan saya tentang perkara satu ini; jodoh.

“Menunggu jodoh itu seperti menunggu kematian. Tak perlu ditunggu, tapi sibuklah mempersiapkan,” By: Islamigrafi.

Selama ini saya sudah tahu, bahwa jodoh itu posisinya sama seperti kelahiran, rezeki dan kematian—sudah ditentukan di Lauh Mahfudz. Takkan tertukar. Tapi kenapa ya, untuk cara saya menyikapinya selama ini berbeda dengan ketetapan Allah lainnya, yang sama-sama tak bisa diganggu-gugat?

Kalaupun ada perbedaan yang paling mencolok antara jodoh dengan kematian, maka kemungkinan besar ialah: jodoh itu sesuatu yang dirindukan. Sedangkan kematian bagi sebagian orang adalah sesuatu yang mengerikan.

Semakin direnungkan, semakin saya cukup melek teori soal jodoh. Ya terserah kalau masih ada orang yang beranggapan; pikirannya rumit, ribet dan nggak sederhana. Alhamdulillah, mungkin yang begitu memang sudah bertemu dengan jodohnya dan memiliki keturunan.

Dua hal yang sering bikin was-was perasaan manusia normal. Namun perlu diingat, semua itu balik lagi karena takdir yang Allah berikan. Bukan karena semata-mata keutamaan dan kelebihan kita. Jadi ada baiknya, jika tidak sedang di posisi orang lain, yang—kelihatannya—tidak lebih beruntung dari kita, berempatilah. Jika tak mampu membantu dengan langkah riil, maka doakanlah.

Saya tidak sedang ingin membahas perihal kriteria dalam mencari jodoh ideal loh ya. Karena itu terserah masing-masing. Skala prioritas setiap orang kan berbeda. Yang saya mau bagi di sini adalah tentang: cara terbaik dalam menyikapi kedatangan jodoh, juga keturunan—bagi yang sudah menikah.

Sungguhlah jodoh dan keturunan itu bagian dari rezeki yang Allah atur sedemikian rupa. Yang sifatnya aduhai, benar-benar terserah Allah. Keduanya bisa jadi nikmat, bisa juga jadi ujian. Dan yang pasti, sejatinya jodoh dan keturunan bukan syarat masuk surga. Tapi bisa menjadi penyebab seseorang masuk surga atau justru terlempar ke dalam neraka. Semuanya balik lagi ke cara kita menyikapi pemberian Allah itu.

Karena jodoh itu seperti maut. Maka datangnya pun tak pilih-pilih. Nggak mesti yang lebih tua duluan yang ketemu jodohnya. Nggak berarti yang belum ketemu jodohnya itu nggak laku, nggak good looking. Pun tak berarti orang yang belum berjodoh itu seseorang yang buruk kepribadiannya. In Syaa Allah, ini bukan upaya menghibur diri. Saya hanya sedang mengamati kondisi para lajang dan bujang di sekitar saya.

Nggak sedikit punya teman wanita yang usianya sudah menginjak angka 35 ke atas, tapi masih sendiri. Secara fisik mereka menarik kok. Cerdas. Karir gemilang. Dan kalau perhiasan dunia adalah wanita shalihah, In Syaa Allah, beberapa di antaranya, saya husnuzhon mereka itu wanita-wanita shalihah yang taat beribadah, terjaga tutur katanya, baik pula akhlaknya. Tapi mengapa mereka belum juga menemukan tambatan hatinya?

Ada yang sepertinya sudah pasrah. Sibuk mengurusi ibundanya yang sakit menahun. Bukan tak mau berumahtangga, tapi mungkin karena merasa usia yang sudah menginjak setengah abad, bersaing dengan perempuan yang lebih muda jadi terasa lebih sulit.

Yang pria juga begitu. Wajah rupawan, materi mapan, sering menghadiri pengajian. Tapi kenapa ya, kok belum juga ketemu belahan jiwanya?

Pun ada yang di usia belia, entah baru lulus SMA atau SMP sudah ketemu jodohnya. Menikah dan bahagia untuk selamanya. Yang boleh jadi secara fisik, biasa saja. Dan hal-hal lainnya yang jika sekilas mata manusia memandang, justru di bawah mereka yang masih melajang. Tapi itulah Kuasa Allah. Mutlak Kehendak Allah.

Mau lihat contoh lainnya?

Bagi yang masih update berita selebriti nih. Sebut saja Dude Herlino sama Alyssa Soebandono, atau Raffi Ahmad dengan Nagita Slavina. Mereka berdua udah saling kenal dari kapan coba? Bertahun-tahun sebelumnya! Berapa kali terlibat satu frame untuk shooting bareng? Kalau belum waktunya berjodoh yaa belum akan bersatu. Tapi ketika takdir kembali mempertemukan mereka untuk kemudian terikat dalam Mitsaqon Gholizon (perjanjian yang kuat), ya sudah. Kun fa yakun! Nikah deh!

Beberapa hari yang lalu, hati saya rasanya ikut berlonjak kegirangan, saat mendapat kabar salah satu teman baik akhirnya hamil. Masa penantiannya, mungkin bagi sebagian orang terhitung standar atau wajar. Belum ada setahun menikah. Tapi In Syaa Allah saya mengerti, berbagai kecemasan boleh jadi sudah datang dan pergi berkali-kali dalam benaknya.

Sebagai manusia, kita hanya diberikan dua hal yang mampu dilakukan; usaha dan berdoa. Sisanya ya tawakkal. Berserah to the max! Jangan pernah berhenti berprasangka positif terhadap segala Ketetapan Allah. Dia lebih tahu skenario apa yang terbaik untuk masing-masing hamba. Jika usaha sudah, berdoa sudah, tinggal mencoba untuk ridho pada Kehendak-Nya. Yakinkan diri bahwa Allah telah mengatur sedemikian rinci rencana indah-Nya bagi kita.

Adakah sosok Siti Maryam yang hingga akhir hayatnya tak menemukan pendamping, menjadi tercela di mata Allah? Bukankah beliau justru ditunjuk sebagai salah satu pemimpin wanita di surga kelak?

Pun, apakah seorang Siti Aisyah berkurang kemuliannya di sisi Allah, karena tak ditakdirkan memiliki keturunan sepanjang hidupnya?

Kembali ke bagian awal tulisan ini.

Menyikapi jodoh itu seperti menyikapi datangnya kematian. Tak perlu ditunggu, tapi sibuklah mempersiapkan.

Teruslah menyiapkan perbekalan Saudara-saudariku. Agar ketika waktunya tiba di depan mata. Kita lebih siap untuk menyambutnya.

Wallahu A’lam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar