Kamis, 02 Juni 2016

Fiqh Puasa : Menyikapi perbedaan Penetapan Awal & Akhir puasa Ramadhan

بسم الله الرحمن الرحيم

Pelajaran Ayat Al-Qur’an Hari Ini :

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.”(HR. Bukhari no.1.776)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Saudaraku seiman, Segala puji hanyalah milik Allah Subhana wa ta’ala. Shalawat & salam senantiasa tercurahkan kpd Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallan, para keluarganya, sahabat2 nya & ummatnya yg istiqomah diatas sunnahnya hingga hari kiamat. Tausiyah group WA & BBM pagi ini msh membahas seputar fiqh ibadah puasa yaitu tentang menyikapi perbedaan penetapan awal & akhir puasa Ramadhan.

Tamu agung yg selalu dinanti2 oleh kaum muslimin akan kembali hadir. Tamu agung itu adl bulan suci Ramadhan. Dalam hitungan kalender Hijriyah beberapa hari kedepan kita akan meninggalkan bulan Sya’ban & akan memasuki bulan Ramadhan thn 1437 Hijriyah. Bulan suci Ramadhan adalah bulan penuh rahmat Allah SWT, bulan ampunan, bulan waktu diturunkannya Al-qur’an & bulan yg didalamnya terdapat satu malam yg lebih baik dari pd seribu bulan yaitu malam lailatul qadar.

Momentum mulia bulan suci Ramadhan selalu diwarnai oleh perbedaan dlm mengawali & mengakhirinya. Fakta obyektif menunjukkan bhw secara teknis penentuan awal Ramadhan & Syawal selalu memiliki potensi utk berbeda, apapun landasan fiqh yg dipilih atau dipakai. Sebenarnya hal apa yg melatar belakangi terjadinya perbedaan dlm mengawali & mengakhiri puasa Ramadhan? Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan penetapan awal dan akhir puasa Ramadhan?.

Latar belakang perbedaan

Hisab dan Rukyah adalah alat yg dibutuhkan bagi setiap mukmin utk memastikan masuknya awal bulan qamariyah. Penetapan awal bulan qamariyah termasuk bulan ramadhan dengan melihat anak bulan (rukyah al-hilal). Rukyah al-hilal dijadikan sebab pelaksanaan puasa Ramadhan.

Hukum syara’ tlh menjelaskan bhw rukyah al-hilal merupakan sabab dimulai & diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tdk dpt dirukyah maka puasa dilakukan setelah istikmal (sempurna) bulan Sya’ban. Hal ini didasarkan banyak dalil diantaranya,

Rasulullah SAW bersabda, Janganlah berpuasa hingga terlihat bulan. Dan janganlah berbuka (mengakhiri Ramadhan) hingga terlihat bulan pula. Maka jika pandangan kalian terhalang (mendung) sempurnakan bilangan bulan sebanyak 30 hari. (HR.Bukhari & Muslim).

Dlm menentukan kemunculan rukyah al-hilal inilah terjadi perbedaan pendapat apakah menggunakan metode hisab (perhitungan matematis) ataukah dengan metode rukyah al-hilal (pengamatan langsung).

1. Metode Hisab.

Hisab menurut bahasa berarti hitungan, arithmetic (ilmu hitung), reckoning (perhitungan), calculus (hitung), computation (perhitungan), estimation (penilaian, perhitungan), appraisal (penaksiran). Sementara menurut istilah hisab adl perhitungan benda2 langit utk mengetahui kedudukannya pd suatu saat yg diinginkan. Mengutip pendapat ormas Islam Muhammadiyah, Metode hisab Muhammadiyah berarti rangkaian proses perhitungan yang digunakan utk menentukan arah suatu tempat dari tempat lain, atau menentukan posisi geometris benda2 langit utk kemudian mengetahui waktu saat di mana benda langit menempati posisi tersebut, atau mengetahui apakah suatu siklus waktu sudah mulai atau belum.

Metode hisab Muhammadiyah, sekurang2 nya meliputi 4 obyek, yaitu hisab arah kiblat, hisab waktu2 shalat, hisab awal bulan qamariah & hisab gerhana matahari & bulan.( Pedoman Hisab Muhammadiyah, cetakan kedua Yogyakarta, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009). Diantara dalil yg dijadikan hujjah metode hisab adalah : QS. Al-Baqarah ayat 185 & QS. Yunus ayat 5.

2. Metode Rukyah Al-hilal

Rukyah al-hilal adl melihat bulan sabit setelah ijtima’ & setelah wujud di atas ufuk. Ijtima’ atau konyungsi adl saat bulan & matahari memiliki bujur ekliptika yg sama. Ekliptika adl sistem koordinat langit utk menggambarkan posisi matahari, bulan & planet2 dekat. Peristiwa ijtima’ terjadi serentak sekali setiap satu periode bulan mengelilingi bumi (sinodis). Dengan demikian pada saat ijtima’, ada wilayah di muka bumi yg sedang pagi, siang, sore atau malam hari.

Sedangkan hilal hanya bisa dilihat di sore hari, bila tingginya sudah cukup sehingga pd saat matahari terbenam bulan masih di atas ufuk (Barat), sehingga ada bagiannya yg memantulkan cahaya matahari ke bumi, sebelum akhirnya bulan terbenam menyusul matahari. Inilah bulan sabit yg ditunggu2. Oleh krn itu, meski ijtima’ terjadi serentak, namun peristiwa hilal bisa dirukyat tidaklah serentak, melainkan terikat oleh aspek astronomi (posisi bujur dan lintang pengamat) & aspek geografi (perbedaan zone waktu).

Secara astro-geografi, daerah yg lbh barat (dihitung dari Batas Tanggal Internasional) akan menyaksikan bulan yg lbh tua shg peluang rukyatul hilal pd hari yg sama akan lbh besar.(Ref : Prof.Dr.Ing Fahmi Amhar, artikel aspek syar’ie & iptek dlm penentuan awal & akhir ramadhan).

Dlm pelaksanaannya, waktu rukyat adl sangat pendek, yakni kurang dari satu jam setelah matahari terbenam. Maka suatu berita rukyatul hilal yg terjadi sebelum matahari terbenam di tempat tersebut, atau setelah tengah malam, atau bahkan sebelum ijtima’ adl wajib ditolak.

3. Rukyah al-hilal dhgn Mathla’

Perbedaan berikutnya adl mathla’ yaitu tempat lahirnya bulan. Sebagian ulama mazhab Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat rukyah bisa mengikuti hasil rukyah daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan rukyah sendiri & tdk hrs mengikuti hasil rukyah daerah lain. Hal ini didasarkan pada hadist riwayat dari Kuraib :

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya : bhw Ummul Fadl tlh mengutusnya utk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pd malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kpd ku & menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, Kapan kalian melihat hilal? Aku menjawab, Kami melihatnya pd malam Jum’at. Dia bertanya lagi, Apakah kamu sendiri melihatnya? Aku jawab lagi, Ya & orang2 jg melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah. Dia berkata lagi, Tapi kami (di Madinah) melihatnya pd malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan 30 hari atau hingga kami melihatnya. Aku lalu bertanya, Tdk cukupkah kita berpedoman pd rukyah & puasa Muawiyyah? Dia menjawab, Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW tlh memerintahkan kpd kami. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).

Rukyah al-hilal global potensi menyatukan ummat.

Abad 21 dikenal dgn kemajuan era teknologi & informasi digital shg pendapat yg condong kpd matla memang jadi tdk praktis & kurang populer, sebab satu kabupaten saja bisa terpecah menjadi beberapa matla. Menurut Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri (1882-1941) dari 4 madzhab fiqh yg terkenal, tiga di antaranya (Hanafi, Maliki, Hambali) cenderung kpd rukyat global, yaitu bhw suatu kesaksian rukyat berlaku utk kaum muslimin di seluruh dunia. Sedang pengikut Imam Syafi’i condong kpd rukyat lokal yg hanya berlaku satu matla, yg kurang lbh radius 24 farsakh (kurang lbh 120 Km).

(Ref :Kitab Fiqh ‘ala al-Mazhahib al-Araba’ah juz 1 halaman 550).

Menurut Imam Asy-syaukani didlm kitabNailul Authar juz III halaman 125, pendapat kalangan Syafi’i ini berasal dari kerancuan memahami hadits Kuraib, yaitu saat menafsirkan ucapan Ibnu Abbas yg tetap berpuasa sesuai rukyah al-hilal di Madinah & tdk mengikuti hasil penglihatan bulan sabit oleh banyak orang di Damaskus yg satu hari lebih awal,Demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami”. (HR.Jama’ah selain Bukhari & Ibnu Majah).

Dlm mengomentari hadits ini, Imam Asy-syaukani berpendapat bhw yg layak menjadi hujjah itu adl riwayat yg marfu’ (yakni ucapan Rasul sendiri) & bukan ijtihad atau pemahaman Ibnu Abbas atas ucapan Rasulullah SAW. Sedangkan ucapan Rasulullah SAW seperti dikutip pd awal tulisan ini, adl merupakan seruan yg tertuju kpd siapapun di antara kaum muslimin & tdk dikhususkan pd penduduk suatu daerah tertentu.

Penutup

Alangkah indahnya bila setiap tahun seluruh ummat Islam dpt mengawali & mengakhiri puasa Ramadhan secara bersama2. Bulan suci Ramadhan dpt dijadikan sbg momentum utk mempererat ukhwah Islam dgn menyatukan persepsi dlm hal mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan. Apalagi ketika ummat Islam dpt dipersatukan dlm satu ikatan pemikiran yg sama, perasaan yg sama & aturan hidup yg sama dibawah kepemimpinan Islam yakni seorang Khalifah yg menerapkan Syari’at Islam scr kaffah.

Wallahu a’lam

By : Tommy Abdillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar